Abstract.
General Election in Islamic Law. This article discuss the implementating general election in Islamic law, both the legislative elections, elections of regional heads and presidential elections. Indonesian elections in accordance with the mechanism of the western democracies, so that the election is the only way in choosing representatives and leaders. In the Islamic view of the elections is not the only way but one of the ways to choose a government or leader. Elections according to the Islamic view of the law may permissible, but must be in accordance with the implementation of sharia, not using a mechanical cause many western democracies not helpful.
Abstract: general election, Islamic law, democracy
Abstrak. Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam. Tulisan ini menjelaskan tentang pelaksanaan pemilihan umum menurut hukum Islam, baik pemilu legislatif, kepala daerah maupun presiden. Pelaksanaan pemilu di Indonesia sesuai dengan mekanisme demokrasi Barat sehingga pemilu merupakan satu-satunya cara dalam memilih wakil rakyatmaupun pemimpin. Dalam pandangan Islam, pemilu bukan merupakan satu-satunya cara tetapi salah satu cara yang dilakukan untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin. Pemilu menurut pandangan Islam hukumnya boleh atau mubah, tetapi pelaksanaannya harus sesuai ketentuan syariah, tidak menggunakan mekanisme demokrasi Barat yangbanyak menimbulkan kemudaratan.
Pendahuluan
Pemilihan umum, yang kemudian dikenal dengan pemilu, dalam demokrasi Barat merupakan salah satu implementasi dari kedaulatan rakyat, sehingga apa pun alasannya agar hak-hak rakyat dapat disalurkan maka pemilulah yang harus diselenggarakan. Hiruk pikuk penyelenggaraan pemilu di Indonesia, baik pemilu kepala daerah, legislatif maupun presiden dan wakil presiden, dilaksanakan dalam rangka untuk memenuhi kedaulatan rakyat yang merupakan suatu praktek ketatanegaraan untuk mengisi jabatan publik.
Perdebatan panjang mengenai RUU pemilihan kepala daerah yang kemudian hasil sidang paripurna DPR mengesahkan pemilihan kepada daerah melalui DPRD juga merupakan alasan dalam rangka untuk meng-implementasikan kedaulatan rakyat yang dimaksud. Oleh karena pelaksanaan pemilu tersebut merupakan amanat yang dikandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pemilu yang merupakan praktek ketatanegaraan yang harus dilaksanakan. Pemilu selain implementasi dari kedaulatan rakyat, juga pemilu dilaksanakan sebagai pemenuhan hak-hak asasi manusia, juga pemilu dilaksanakan sebagai penggantian pejabat negara secara teratur. Akan tetapi, setiap pemilu yang diselenggarakan selalu menimbulkan masalah, dan terjadi sengketa antara peserta pemilu maupun dengan penyelenggara pemilu.
Pemilu yang diselenggarakan membutuhkan biaya yang sangat mahal, baik biaya sosial maupun dana yang berasal dari anggaran negara/daerah. Konflik yang terjadi setelah pemilu dilaksanakan, karena ada pihak yang merasa tidak puas dengan hasil yang diperoleh. Wakil-wakil rakyat yang terpilih juga belum tentu menghasilkan wakil yang membawa amanah, justru wakil yang dipilih adalah para koruptor, baik anggota legislatif maupun kepala daerah. Apabila melihat realita demikian, maka pemilu yang dilaksanakan di Indonesia banyak menimbulkan mudarat daripada manfaat yang diperoleh.
Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan agama Islam harus menjadi bagian dalam kehidupannya, termasuk di dalamnya adalah bagaimana cara memilih pemimpin. Agama Islam (termasuk hukumnya) tidak memberikan batasan untuk memilih metode tertentu dalam memilih wakil rakyat atau pemimpinnya. Hal ini dikarena dalam Islam (Hukum Islam) mempunyai tujuan yang agung yaitu agar tidak ada kesulitan (haraj) bagi kaum muslimin. Dengan demikian, umat dapat memilih pemimpinnya (wakil rakyat, kepala daerah maupun presiden) mereka berdasarkan metode yang sejalan dengan tuntutan zaman, tempat dan waktu selama tidak keluar dari batas syariat.
Sebenarnya terjadi perbedaan pendapat di antara ulama atau fukaha dalam hal praktek pemilu, khususnya yang dipraktekkan di Indonesia maupun di dunia lain. Ada yang menyatakan bahwa pemilu adalah salah satu, bukan satu-satunya cara (uslûb), yang bisa digunakan untuk memilih para wakil rakyat yang duduk di majelis perwakilan atau untuk memilih penguasa. Sebagai salah satu cara, dalam pandangan Islam, tentu saja pemilu ini tidak wajib
1. Menurut pendapat ini tentu saja perlu dicari cara lain yang sesuai dengan syariat. Islam memberikan alternatif dalam pemilihan wakil rakyat yang akan duduk di majelis perwakilan maupun memilih penguasa untuk memimpin rakyatnya. Syariat tidak menentukan sistem apa yang digunakan, tetapi Islam memberikan pedoman dalam kehidupan bernegara. Agama Islam itu nasihat sebagaimana Rasulullah Saw bersabda: “Agama itu nasihat. “Kami bertanya: “Untuk siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan mereka semuanya (kaum muslim) ”. (HR Muslim dari Tamîm al-Dârî).
Hadits tersebut menunjukkan agar umat dalam setiap perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan dihadapan Allah Swt., termasuk dalam melaksanakan pemilu. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS. Qâf [50]: 16-18).
Allah Swt. telah menurunkan syariat untuk mengatur kehidupan umat manusia (rakyat), sehingga diterima
atau tidaknya pertanggungjawaban tersebut ditentukan dengan syariat. Apabila sesuai dengan syariat, maka akan diterima, sebaliknya apabila tidak sesuai maka akan ditolak, sebagaimana Sabda Nabi SAW. ''bahwa siapa saja yang melakukan amal perbuatan yang tidak sesuai dengan tuntutan syariat maka perbuatan itu akan tertolak.'' (H.r. Muslim).
Begitu juga dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia, harus dilihat apakah sudah sesuaidengan syariat atau belum. Hakikat Kedaulatan Rakyat Berbicara kedaulatan rakyat berarti membicarakan tentang kekuasaan yang tertinggi ada pada rakyat sebagaimana dikemukakan diatas. Untuk mengimplementasikan kedaulatan rakyat maka harus dilaksanakan dengan pemilihan. Pemilihan semacam ini sebagai wujud dari demokrasi perwakilan yang dikenal selama ini, karena tidak mungkin semua rakyat dapat memimpin sehingga perlunya perwakilan umat/rakyat sebagai aspirasi rakyat. Kata ”kedaulatan” berasal dari bahasa Arab, yaitu dawlah atau dûlah, dalam kamus al-Zurjawî dikatakan bahwa secara harfiah dûlah atau dawlah berarti ”putaran atau giliran”.
2. Kata dawlah memiliki dua bentuk yaitu Pertama, dûlatan yang berarti beredar. Istilah ini dihubungkan dengan adanya larangan peredaran kekayaan hanya di antara orang kaya. Kedua, nudâwiluhâ yang berarti mempergantikan. Istilah ini berkaitan dengan adanya penegasan bahwa kekuasaan merupakan sesuatu yang harus digilirkan di antara umat
Begitu juga dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia, harus dilihat apakah sudah sesuaidengan syariat atau belum. Hakikat Kedaulatan Rakyat Berbicara kedaulatan rakyat berarti membicarakan tentang kekuasaan yang tertinggi ada pada rakyat sebagaimana dikemukakan diatas. Untuk mengimplementasikan kedaulatan rakyat maka harus dilaksanakan dengan pemilihan. Pemilihan semacam ini sebagai wujud dari demokrasi perwakilan yang dikenal selama ini, karena tidak mungkin semua rakyat dapat memimpin sehingga perlunya perwakilan umat/rakyat sebagai aspirasi rakyat. Kata ”kedaulatan” berasal dari bahasa Arab, yaitu dawlah atau dûlah, dalam kamus al-Zurjawî dikatakan bahwa secara harfiah dûlah atau dawlah berarti ”putaran atau giliran”.
2. Kata dawlah memiliki dua bentuk yaitu Pertama, dûlatan yang berarti beredar. Istilah ini dihubungkan dengan adanya larangan peredaran kekayaan hanya di antara orang kaya. Kedua, nudâwiluhâ yang berarti mempergantikan. Istilah ini berkaitan dengan adanya penegasan bahwa kekuasaan merupakan sesuatu yang harus digilirkan di antara umat
3. Menurut sejarah peradaban Islam, kata dawlah dipergunakan untuk menunjuk pada pengertian rezim kekuasaan, seperti Daulah Bani Umayyah dan Daulah Bani ’Abbasiyyah
4. Masdar Farid Mas’udi menyatakan: Kedaulatan sebagai konsep kekuasaan (sovereignty) untuk mengatur kehidupan ada yang bersifat terbatas (muqayyad), relatif (nisbî) dan ada yang tidak terbatas (ghayr muqayaad) atau mutlak (absolut). Kedaulatan absolut adalah kedaulatan atas semua kedaulatan yang tidak dibatasi oleh kedaulatan pihak lain. Kedaulatan absolut hanya milik Allah Swt., untuk mengatur alam semesta melalui hukum alam-Nya dan mengatur kehidupan manusia melalui sinyal-sinyal hukum moral yang diilhamkan kepada setiap nurani (qalb) manusia atau diwahyukan melalui para nabi dan rasul-Nya, sedangkan dalam negara sebagai bangunan sosial dan proyek peradaban yang direkayasa oleh manusia dalam wilayah tertentu yang berdaulat adalah manusia secara kolektif sebagai khalifah-Nya
4. Masdar Farid Mas’udi menyatakan: Kedaulatan sebagai konsep kekuasaan (sovereignty) untuk mengatur kehidupan ada yang bersifat terbatas (muqayyad), relatif (nisbî) dan ada yang tidak terbatas (ghayr muqayaad) atau mutlak (absolut). Kedaulatan absolut adalah kedaulatan atas semua kedaulatan yang tidak dibatasi oleh kedaulatan pihak lain. Kedaulatan absolut hanya milik Allah Swt., untuk mengatur alam semesta melalui hukum alam-Nya dan mengatur kehidupan manusia melalui sinyal-sinyal hukum moral yang diilhamkan kepada setiap nurani (qalb) manusia atau diwahyukan melalui para nabi dan rasul-Nya, sedangkan dalam negara sebagai bangunan sosial dan proyek peradaban yang direkayasa oleh manusia dalam wilayah tertentu yang berdaulat adalah manusia secara kolektif sebagai khalifah-Nya
5. Makna kedaulatan dapat ditemukan dalam Alquran antara lain Q.s. Âli ’Imrân [3]: 26 yang artinya ”Katakanlah: Wahai Tuhan Yang mempunyai 2 Masdar Farid Mas’udi, Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Alvabet, 2010), h. 46.3 Jimly Asshiddiqie, “Bung Hatta: Bapak Kedaulatan Rakyat”, dalamBung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat, Editor: Sri Edi Swasono,(Jakarta: Yayasan Bung Hatta, 2002), h. 87. 4 Jimly Asshiddiqie, Islam dan Kedaulatan Rakyat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. Pertama, h. 87.5 Masdar Farid Mas’udi,Syarah Konstitusi UUD 1945 , h. 47.61 Sodikin: Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam kerajaan...”
6. Dalam tafsir dan kajian yang lain terhadap ayat tersebut ada pula yang menerjemahkan sebagai ”Katakanlah Hai Tuhan Yang memiliki (sekalian) Kekuasaan,...”
7. Ada juga yang mengartikan ”Ia, Allah Tuhan yang berdaulat...”
8. Selanjutnya kata ”rakyat” diartikan dengan segenap penduduk suatu negara (sebagai imbangan pemerintahan)
9. Dalam bahasa Inggris diartikan dengan people, sedangkan dalam bahasa Arab dijumpai kata ra’iyyah yang mengacu pada pengertian masyarakat (rakyat). Pada dasarnya setiap negara akhirnya akan berbicara tentang rakyat, dan rakyat pada suatu negara adalah pemegang kekuasaan, artinya rakyat menjadi sumber kekuasaan dalam arti relatif. Moh. Hatta menyatakan bahwa kedaulatan rakyat berarti pemerintahan rayat yang dilakukan oleh para pemimpin yang dipercaya oleh rakyat. Dengan sendirinya di kemudian hari pimpinan pemerintahan di pusat dan daerah jatuh ke tangan pemimpin-pemimpin rakyat
10. Pemahaman tentang rakyat dalam kedaulatan rakyat berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat dan menempatkan kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Ajaran kedaulatan rakyat sebagai ajaran yang terakhir dipraktekkan pada negara-negara modern mendapatkan tempat yang baik, karena ajaran kedaulatan rakyat dapat dianggap sebagai ajaran yang terbaik selain ajaran kedaulatan yang lainnya. Oleh karena rakyat berdaulat atau berkuasa, maka segala aturan dan kekuasaan yang dijalankan oleh negara tidak boleh bertentangan dengan kehendak rakyat. Menurut ajaran ini, rakyat berdaulat dan berkuasa untuk menentukan bagaimana rakyat diperintah dalam rangka mencapai tujuan negara. Ajaran ini dipraktekkan pada negara-negara Barat yang bersifat individualistis karena menempatkan rakyat sebagai sesuatu yang tinggi, sehingga menurut mereka suara rakyat adalah suara Tuhan. Akan tetapi dalam ajaran Islam bukan berarti rakyat yang berkuasa, tetapi ada hak Allah yang harus didahulukan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan atau hukum harus sesuai syariat. Seorang tokoh dan intelektual muslim, yaitu Kasman Singodimedjo menyatakan bahwa:
6
Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyad
Kerajaan Saudi Arabia,
Al Qur’an dan Terjemahannya
, (Medina Al-
Munawwarah: Percetakan Raja Fahd, 1418), h. 79.
7
A. Hassan,
Al Furqon
(
Tafsir Al Qur’an
), (Jakarta: Tinta Mas,
1962), h. 103.
8
Salim Azzam,
Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam
,
(Bandung: Mizan, 1983), h. 80.
9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Kamus Besar Bahasa Indonesia
, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991) h. 722.
10
Mohammad Hatta,
Demokrasi Kita
, (Jakarta:Ghalia Indonesia,
1977), h. 89.
Karena rakyat atau umat itu selalu terdiri atas mausia-
manusia, dan karena manusia itu sebagai makhluk selalui
daif atau lemah (Allah menyatakan di dalam Alquran
insân dha’îf
yang artinya manusia itu lemah), maka
tentunya semua hasil atau produk daripada kedaulatan
rakyat/umat itu selalu pula tidak dapat dijamin
kebenarannya setiap waktu. Apalagi apabila ada ekses-
ekses atau
overacting
yang lucu-lucu, sehingga dengan
begitu tidak pula dapat dikatakan, bahwa kedaulatan
rakyat itu selalu mengandung kekuasaan yang mutlak/
absolut benar. Dan karena yang mutlak benar itu adalah
Allah, maka kedaulatan rakyat/umat itu, jika mau benar
dan baik haruslah disesuaikan dan diarahkan kepada
isi, maksud dan tujuan dari kedaulatan Allah, yang
berkekuasaan penuh sepenuh-penuhnya atau mutlak).
11
Menurut ajaran Islam, sebagaimana dikemuka-
kan oleh Kasman Singodimedjo, bahwa Allah Yang
menciptakan dan Tuhan seru sekalian alam seisinya
itu sungguh-sungguh mentolerir/mengizinkan adanya
kedaulatan rakyat, adanya kedaulatan negara dan
adanya kedaulatan hukum, yang tentunya di dalam arti
terbatas, yaitu di dalam batas-batas keizinan Allah
12
.
Ekspresi berdaulatnya Allah tercermin dalam Q.s. al-
A
h
zâb [33]: 36 yang dapat diartikan bahwa jika Allah
dan Rasul telah menetapkan suatu perkara (hukum),
maka seorang mukmin atau mukminat tidak boleh
menetapkan ketentuan lain menurut keinginannya
sendiri. Pendapat Kasman Singodimedjo yang tercermin
dalam Q.s. al-A
h
zâb [33]: 36 tersebut menunjukkan
bahwa meskipun kedaulatan yang berarti rakyat yang
berdaulat dalam arti rakyat yang mempunyai kekuasaan,
tetapi masih ada yang lebih berdaulat atau berkuasa
yaitu Allah Swt. Di sini suara rakyat bukanlah suara
Tuhan, karena rakyat dapat saja melakukan perbuatan
yang tidak sesuai dengan syariat.
Dengan demikian, dalam Islam kekuasaan politik
hanya memiliki wewenang hukum untuk mem
buat
produk hukum sebagai upaya menjalankan syariat.
Persoalan kemudian adalah bagaimana Allah meng-
ekspresikan kedaulatan-Nya di dunia nyata. Alquran
menegaskan bahwa manusia di bumi adalah
khilâfah
(pengganti) Allah dengan tugas memakmurkan bumi
dan kekuasaan yang dimiliki adalah amanah. Oleh
karena itu dalam Islam, kedaulatan Tuhan merupakan
sumber dari segala kedaulatan.
Dalam pandangan Islam, kekuasaan yang dimiliki
umat Islam bukanlah hak bawaan mereka sendiri,
melainkan amanat dari Allah.
13
Demikian juga
11
Kasman Singodimedjo,
Masalah Kedaulatan
, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978), h. 40.
12
Kasman Singodimedjo,
Masalah Kedaulatan
, h. 24.
13
Muhammad Asad, “Pemerintahan Islam dan Asas-Asasnya”,
dalam Salim Azzam (Editor),
Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan
Islam
, terjemahan Malikul Awwal dan Abu Jalil, (Bandung: Mizan,
1983), Cetakan pertama, h. 80-81.
62
Ahkam:
Vol. XV, No. 1, Januari 2015
Muhammad A. Al-Buraey menyatakan bahwa:
Pemerintahan dan penguasa hanya untuk Allah dan
harus sesuai dengan syariat, tidak ada seorang pun atau
kelompok yang memiliki hak untuk mengingkari Tuhan,
kedaulatan hanya untuk Allah semata, legislasi juga
hanya untuk Allah, sehingga pemerintahan negara Islam
memperoleh keabsahannya hanya dengan melaksanakan
hukum-hukum Allah atau syariah-Nya.
14
Beberapa ayat Alquran yang menjadi dalil dan
landasan bahwa kedaulatan rakyat bersumber pada
hukum Allah adalah Q.s. Fâthir [35]: 16-17, Q.s. al-
Ma’ârij [70]: 40-41 dan Q.s. al-Furqôn [25]: 36-39
Dengan demikian, dipertegas oleh Kasman
Singodimedjo bahwa:
Mengenai kedaulatan rakyat atau kedaulatan ummat,
maka sesungguhnya rakyat atau umat itu tidak dapat
dikatakan berdaulat di dalam arti berkuasa penuh,
karena rakyat/ummat itu tetap saja terdiri atas manusia-
manusia yang sifatnya daif atau lemah sebagai makhluk.
15
Oleh karena rakyat atau umat tidak dapat berkuasa
sepenuhnya dan mereka merasa perlu untuk memilih
pemimpin di antara mereka secara bersama yang
kemudian diwakilkan kepada para wakilnya yang akan
duduk di pemerintahan, baik di legislatif maupun
di eksekutif. Wakil-wakil rakyat tersebut harus
menyalurkan aspirasi rakyat, aspirasi rakyat yang tentu
yang sesuai dengan syariat, yang berarti pemimpin
itu telah sungguh-sungguh hanya bertugas atas nama
rakyat/umat yang sejalan dengan kehendak Tuhan.
Dengan demikian, dikenallah pemilihan untuk
memilih wakil-wakil rakyat/umat di antara mereka.
Maka di dalam sejarah kebudayaan Islam sebenarnya
sudah mengenal metode atau cara untuk memilih
pemimpin umat, yang berbeda dengan metode yang
sekarang dikenal yaitu pemilihan umum sebagai
implementasi kedaulatan yang dimaksud menurut versi
demokrasi Barat.
Sejarah Pemilu dalam Peradaban Islam
Pemilu dalam sejarah peradaban Islam ditemukan dari
peristiwa yang mengarah pada bentuk sebuah pemilu yang
kemudian dijadikan landasan oleh para ulama sekarang
untuk membenarkan pemilu yang saat ini dipraktekkan.
Misalnya Baiat
al-Nuqabâ
’ (wakil-wakil suku), yaitu ketika
kaum Anshar membaiat Nabi Saw. di ‘Aqabah. Saat itu,
Nabi Saw. bersabda bahwa pilihlah untukku dari kalian
dua belas orang wakil yang akan menunaikan apa-apa yang
14
Muhammad A. Al-Buraey,
Islam Landasan Alternatif Administrasi
Pembangunan
, Terjemahan Achmad Nashir Budiman, (Jakarta:
Rajawali Press, 1986), Cetakan Pertama, h. 157.
15
Kasman Singodimedjo,
Masalah Kedaulatan
,, h. 54.
dibutuhkan oleh kaum mereka.
16
Selanjutnya dalam kisah
utusan Hawzan, bahwa utusan Hawzan datang kepada
Rasulullah Saw. dalam keadaan Muslim dan memberi
baiat. Ia memohon kepada Nabi Saw. agar mengembalikan
harta mereka (yang dirampas karena perang). Nabi pun
minta persetujuannya (kaum muslimin) tentang hal itu
dan mereka memberikan isyarat keridaan. Akan tetapi
Nabi tidak cukup dengan persetujuannya saja, selanjutnya
Nabi bersabda bahwa Kami tidak mengetahui siapa yang
mengizinkan kalian tentang demikian dan siapa yang tidak
mengizinkan. Pulanglah, hingga masalah ini diangkat
(diadukan) kepada kami oleh wakil yang kalian tunjuk.
17
Dua riwayat tersebut dijadikan alasan atau dasar
oleh para ulama sekarang terhadap persoalan pemilihan
umum, karena kedua riwayat tersebut mempunyai
makna mengenai persoalan kedaulatan rakyat, yaitu
rakyat memberikan pilihannya kepada mereka yang
mewakilinya.
Begitu juga periode sesudah Nabi Saw., yaitu pada
masa
al-Khulafâ’ al-Râsyidûn
. Pemilihan
al-Khulafâ’ al-
Râsyidûn
berbeda dengan metode pemilu yang dikenal
sekarang. Pemilihan umum yang dikenal pada masa
al-
Khulafâ’ al-Râsyidûn
dapat ditemui janji setia (baiat) dari
masing-masing khalifah yang terpilih. Janji setia (baiat)
dilaksanakan di masjid kemudian rakyat memberikan
baiat kepada khalifah, sehingga di sini ada keterlibatan
dan peran rakyat dalam baiat khalifah.
Pada saat pemilihan Abû Bakr yang dilakukan di
balai pertemuan Bani Saidah oleh kelompok kecil yang
terdiri atas lima orang selain Abû Bakr, yaitu ‘Umar
ibn al-Khaththâb, Abû Ubaydah ibn Jara
h
, Basyîr ibn
Sa’ad, Asid ibn Khudayr dan Sâlim, seorang budak Abû
Khudzayfah yang telah dimerdekakan.
18
Kelima orang
itu merupakan perwakilan dari kelompok Muhajirin
(suku Quraisy) dan kelompok Anshar masing-
masing dari unsur Khazraj dan Aus. Hal ini berbeda
dengan ‘Umar ibn al-Khaththâb yang terpilih tidak
melalui proses pemilihan sebagaimana Khalifah Abû
Bakr. Meskipun demikian, ‘Umar ibn al-Khaththâb
menyatakan ketika sampai kepadanya berita bahwa
orang-orang berkata bahwa jika ‘Umar meninggal dunia
mereka akan memberikan baiat pada si Fulan. Beliau
juga melarang bahwa barangsiapa membaiat seorang
pemimpin tanpa proses musyawarah, baiatnya dianggap
tidak sah, dan tidak ada baiat terhadap orang yang
mengangkat baiat terhadapnya atau keduanya harus
16
Dikutip ulang oleh Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
Menguak Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan
Politik
, (Jakarta: Gozian Press, 2013), Cetakan Pertama, h. 304-305.
17
Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
h. 304-305.
18
Munawir Sjadzali,
Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran
, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 23.
63
Sodikin:
Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam
dibunuh.
19
Riwayat ini adalah bentuk dari pemilihan
umum yang dikenal pada saat itu melalui mekanisme
musyawarah dengan rakyat dan mengembalikan urusan
pemilihan pemimpin kepada rakyat (kaum muslimin).
Riwayat selanjutnya adalah perbuatan ‘Abd al-Ra
h
mân
ibn ‘Awf ketika bermusyawarah dan meminta pendapat
rakyat untuk menetapkan siapa yang laik menjadi
seorang khalifah setelah ‘Umar ibn al-Khaththâb wafat.
Diwirayatkan bahwa ‘Abd al-Ra
h
mân ibn ‘Awf selama
tiga hari bermusyawarah dan meminta pandangan rakyat
hingga mantap pilihan jatuh pada ‘Ustmân ibn ‘Affân. Saat
itu beliau berkata bahwa beliau melihat pilihan manusia
tidak bergeser pada Utsmân.
20
Riwayat ‘Abd al-Ra
h
mân
ibn ‘Awf ini menunjukkan peran dan keterlibatan rakyat
dalam pemilihan khalifah. Begitu juga dalam pemilihan
‘Alî ibn Abî Thâlib, dipilih melalui pemilihan, meskipun
banyak yang menentangnya. Pada saat ‘Alî ibn Abî Thâlib
terpilih, ‘Alî ibn Abî Thâlib menolak jika baiatnya hanya
sebagai baiat khusus dari
ahl al-
h
all wa al-‘aqdi
. ‘Alî ibn
Abî Thâlib kemudian berdiri di dalam masjid dan rakyat
berbondong-bondong memberikan baiat kepada beliau.
21
Bentuk demikian merupakan bentuk pemilu karena ada-
nya keterlibatan dan peran rakyat dalam menyukseskan
baiat seorang pemimpin (khalifah).
Dengan demikian, pemilu dalam Islam dapat di-
gambarkan yaitu: (1) Kandungan proses pemilu berupa
keharusan tegaknya baiat atas pilihan dan rida rakyat,
merupakan perkara yang tercakup dalam syariat. Baiat
dalam Islam tidak terjadi melainkan atas asas pilihan,
maka baiat yang terjadi pada seluruh
al-Khulafâ’ al-
Râsyidûn
, yang tegaknya berdasarkan rida dan pilihan.
(2) Menyerahkan urusan baiat dan ketaatan kepada
rakyat merupakan perkara yang diakui oleh syariat.
Wajib bagi seluruh rakyat memberi baiat kepada imam
(kepala negara) mereka. Karena baiat kemudian terikat
oleh hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban.
22
Terdapat perbedaan antara pemilu yang terjadi di
Indonesia saat ini dengan apa yang terjadi dalam Islam
sebagaimana diriwayatkan di atas. Perbedaan tersebut
adalah: (1)Menyerahkan urusan pemilihan kepala
negara kepada seluruh rakyat, serta membatasinya
pada orang yang mereka (rakyat) kehendaki. Hal ini
tentunya tidak terdapat dalam Islam. Dalam sejarah
Islam, pemilihan khalifah yang dilakukan oleh
ahl al-
19
Hadis riwayat al-Bukhârî,
Sha
h
î
h
al-Bukhârî, Bâb Rajm al-
H
ublâ
fî al-Zinâ Idzâ Ahshanat
, No. 6830, sebagaimana dikutip oleh Rapung
Samuddin,
Fiqih Demokrasi, Menguak Kekeliruan Panangan Haramnya
Umat Terlibat Pemilu dan Politik
, (Jakarta: Gozian Press, 2013), h. 306.
20
Hadis riwayat al-Bukhârî,
Sha
h
î
h
al-Bukhârî,
, No. 6781.
21
Abû Ja’far al-Thabarî,
Târîkh al-Thabarî,
(Beirut: Dâr al-Fikr,
1997), h. 75.
22
Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
h. 308 – 309.
h
all wa al-‘aqdi
, kemudian diikuti oleh baiat seluruh
rakyat, sebagaimana terjadi pada masa Abû Bakr atau
keterlibatan manusia dalam baiat khalifah secara
langsung tanpa ada pilihan dan pembatasan bagi mereka
sebagaimana terjadi pada baiat ‘Alî ibn Abî Thâlib. (2)
Pemberian kepada setiap orang satu hak suara yang
sifatnya terbatas, sebab dari perhitungan suara tersebut
keluar siapa yang akan menjadi pemimpin berdasarkan
suara mayoritas. Metode ini juga tidak terdapat dalam
sejarah Islam. Baiat yang sifatnya umum terselenggara
berdasarkan rida manusia dan kesediaan mereka mem-
berikan baiatnya. Adapun baiat yang sifatnya khusus
dari
ahl al-
h
all wa al-‘aqdi
terselenggara setelah me-
lalui proses musyawarah dan pertimbangan tanpa
mem
perhatikan perhitungan suara seperti pemilu hari
ini. Kendati para fukaha menyatakan bahwa yang di-
kedepankan adalah pendapat mayoritas dan bukan
selainnya, namun hal ini pun terbatas pada pendapat
dan pandangan
ahl al-
h
all wa al-‘aqdi
dan bukan
pandangan umum sebagaimana terjadi hari ini. (3)
Adanya calon-calon lain yang ikut bertarung untuk
mendapatkan pilihan dan baiat dari rakyat. Padahal
persoalan menyerahkan baiat kepada rakyat dalam
sejarah Islam bukan untuk tujuan membedakan dan
memilih calon-calon yang bertarung, akan tetapi untuk
memberi baiat kepada khalifah yang dipilih oleh
ahl
al-
h
all wa al-‘aqdi
atau ikut serta (bersama
ahl al-
h
all
wa al-‘aqdi
) dalam memberikan baiat kepada seseorang
tertentu.
23
Perbedaan Sikap Ulama
Sikap para ulama terhadap pemilu terbagi menjadi
dua kelompok dengan pandangan yang berbeda.
Kelompok pertama, yaitu yang mengharamkan pemilu
sebagai
mana dipraktekkan sekarang ini. Menurut
kelompok ini, pemilu sekarang sudah tidak sesuai
dengan syariah. Karena pemilu hukumnya tidak
boleh atau haram, maka tidak boleh menempuh
atau mempraktekkan metode pemilu dalam bentuk
seperti yang dipraktekkan hari ini
24
. Pendapat ini
dikemukakan oleh Mu
h
ammad ‘Abd Allâh al-Imâm,
Ma
h
mûd Syâkir,
H
âfizh Anwâr, al-Amîn al-
H
ajj dan
Mu
h
ammad ibn Sa’ad al-Ghâmidî. Ada beberapa
alasan bagi
kelompok ini untuk mengharamkan pemilu
sebagaimana dipraktekkan sekarang ini (khususnya
di Indonesia), seperti: (1) Pemilu yang dipraktekkan
sekarang ini tidak
dikenal dalam Islam karena tidak
ada dalil-dalilnya. (2) Pemilu
yang diselenggarakan
menimbulkan kerusakan, tidak ada ketakwaan terhadap
23
Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
h. 309 – 310.
24
Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
h. 311.
64
Ahkam:
Vol. XV, No. 1, Januari 2015
Allah Swt.,
penggunaan dana yang besar (pemborosan),
sikap fanatik terhadap kelompoknya sendiri,
jual beli
suara dan mengelabui pemilih sehingga pelaksanaan
pemilu banyak
menimbulkan kemudaratan daripada
manfaat. (3) Sistem pemilu legislatif dengan suara
mayoritas tidak dikenal dalam Islam karena dalam
Islam yang menjadi
ukuran adalah sebuah kebenaran
yang wajib diterima. (4) Tidak dipenuhi
syarat-syarat
orang untuk dipilih menjadi pemimpin karena sekarang
ini
semua orang mempunyai hak yang sama untuk
dipilih. (5) Persamaan
hak untuk memilih (persamaan
mutlak tanpa ada perbedaan keahlian masing-
masing)
sehingga tidak sesuai dengan firman Allah dalam
Q.s.
al-Zumar [39]: 9 yang artinya “Adakah sama
orang-orang
yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui ? Sesungguhnya orang
yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (6) Aturan
demokrasi yang
diambil dari Barat sehingga merupakan
aturan jahiliyah. (7) Dalam kenyataannya,
tujuan dari
pelaksanaan pemilu menghasilkan jabatan yang tidak
mencapai kebaikan
dan maslahat bagi masyarakat. (8)
Tidak adanya perbaikan yang signifikan
bagi kehidupan
umat manusia.
Kelompok kedua berpandangan menghalalkan
pemilu sebagaimana
dipraktekkan sekarang ini karena
masih tetap dalam koridor syariah. Kelompok
ini
berpendapat bahwa pemilu sebagaimana dipraktekkan
sekarang ini hukumnya halal, selama
metode pemilihan
sesuai dengan syariah. Pendapat ini dikemukakan oleh
mayoritas
ulama kontemporer, seperti Mu
h
ammad
Rasyîd Ridhâ, Abû al-A’lâ al-Mawdûdî, Yûsuf al-
Qaradhawî dan ‘Abd al-Qâdir Awdah. Ada beberapa
alasan atau dalil yang membolehkan pemilu seperti
sekarang ini, yaitu: (1) Inti sebenarnya dari baiat adalah
pemberitahuan dari rakyat yang memberikan baiat
akan persetujuan dan rida terhadap seseorang yang
akan dibaiat, dan hal ini terwujud dalam pemilu hari
ini
25
. (2) Kenyataan dalam sejarah Islam dan riwayat
Islam menunjukkan adanya sebuah proses pemilu. (3)
Syariat Islam datang membawa pengakuan bagi peran
dan rida rakyat dalam baiat serta tidak menetapkan
batasan metode yang dengannya diketahui keridaan
itu. Pemilu termasuk salah satu metode aktual yang
digunakan untuk mengetahui keridaan rakyat.
Disamping itu, tidak ada dalil yang menunjukkan
pelarangan dan tidak pula yang membatasi metodenya
dengan sarana-sarana tertentu.
26
(4) Umatlah yang
25
‘Abd al-
H
âmid al-Anshârî,
al-‘Âlam al-Islâmî bayna al-Syûrâ wa
al-Dimuqrathiyah
, (Cairo, Dâr al-Fikr al-Islam, 1922 H), Cetakan ke-
1, h. 30 dan 324.
26
Mu
h
ammad A
h
mad Mufti,
Mafâhîm Siyâsah Syar’iyyah
,
(Amman: Dâr al-Basyîr, 1418 H), h. 50, lihat pula Munîr al-Bayâtî,
merupakan pemilik hak dalam pemilihan seorang
hakim atau kepala negara. Jika demikian, maka bagi
mereka hak terlibat secara langsung dalam pemilihan
atau melalui wakil-wakilnya dari kalangan
ahl al-
h
all
wa al-‘aqd
.
27
(5) Metode pengangkatan seorang khalifah
atau kepala negara termasuk dalam kategori ijtihadiyah.
Tidak ada dalil khusus yang membatasinya dengan satu
metode tertentu, sebab ia berbeda menurut perbeda
an
tempat dan zaman. Dibolehkan menempuh metode
apa saja dalam pemilihan pemimpin selama tidak
ber
tentangan dengan nas-nas syarak.
28
(6) Pemilihan
umum merupakan metode aktual yang dengannya
dapat diketahui pandangan rakyat secara adil dan
obyektif. Mereka yang berbeda dengan metode ini tentu
tidak memiliki dalil yang sahih. Ketika mereka ingin
mengetahui tentang
ahl al-
h
all wa al-‘aqd
serta metode
dan batasan yang digunakan untuk zaman sekarang,
adakah cara selain metode pemilu? Bagaimana mereka
menjamin perpindahan kekuasaan serta mencegah
aturan-aturan politik dari kezaliman tanpa melalui
proses pemilu.
29
(7) Allah Swt. memuji kaum mukmin
yang telah menyeru kepada yang makruf dan mencegah
kemunkaran sebagaimana dalam Q.s. Âli ‘Imrân [3]:
110 yang artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman
kepada Allah”, dan Q.s. Âli ‘Imrân [3]: 104 yang
artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru pada kebajikan, menyuruh pada
yang makruf dan mencegah yang munkar. (8) Tidak
mungkin seluruh umat menegakkan kewajiban dan
tidak pula selain kewajiban
kifâ’î
. Hendaknya bagi
mereka mengambil asas perwakilan, yaitu manusia
menyerahkan kewajiban tersebut kepada wakil mereka.
Masalah ini yang terjadi dan diwujudkan dalam pemilu
yang dipraktekkan saat ini untuk memilih perwakilan
rakyat kepada orang-orang yang akan menegakkan
kewajiban
kifâyah
tersebut.
30
Fatwa MUI tentang Haramnya Golput
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan
fatwa haram untuk golput atau tidak menggunakan
hak pilih pada saat pemilu. Fatwa tersebut dikeluarkan
pada tanggal 25 Januari 2009, ketika Majelis Ulama
al-Nizhâm al-Siyâsî al-Islâmî
, h. 178 dan 325.
27
Munîr al-Bayâtî,
al-Nizhâm al-Siyâsî al-Islâmî
, h. 322 dan 325.
28
Shalâ
h
al-Dîn Dabbûs,
Al-Khalîfah Tawliyatuh wa ‘Azluh
,
(Iskandariyah: Muassasah al-Tsaqâfiyyah al-Jâmi’iyyah, t.t.), h. 243-244.
29
Dâwud al-Baz,
Al-Syûrâ wa al-Dimuqrathiyyah al-Niyâbiyyah
,
(Iskandariyah: Dâr al-Fikr al-Jâmi’î, 2004) h. 153 dan 326-327.
30
‘Abd al-Karîm Zaydan,
Makalah al-Dimuqratiyah wa Musyârakah
al-Muslim fî al-Intikhâbât, Majallah al-Majma’ al-Fiqh al-Islâmî
,
Râbithah al-‘Âlam al-Islâmî, Edisi X, 1426 H, h. 58-59 dan 327.
65
Sodikin:
Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam
Indonesia melakukan sidang Ijtima ke-III yang digelar
di Padang Panjang, Sumatera Barat. Berdasarkan hasil
sidang yang dihadiri sekitar 750 orang ulama tersebut,
disepakati lima point penting, yaitu: (1) Pemilihan
umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk
memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat
ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan
aspirasi umat dan kepentingan bangsa. (2) Memilih
pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk me-
negakkan
imâmah
dan
imârah
dalam kehidupan
bersama. (3)
Imâmah
dan
imârah
dalam Islam meng-
hajatkan syarat sesuai dengan ketentuan agama agar
terwujudnya kemaslahatan dalam masyarakat. (4)
Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa,
jujur (
siddîq
), terpercaya (
amânah
), aktif dan aspiratif
(
tablîgh
), mempunyai kemampuan (
fathânah
) dan
mem
per
juangkan kepentingan umat Islam hukumnya
adalah
wajib
. (5) Memilih pemimpin yang tidak me-
menuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam
butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal
ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah
haram.
Fatwa tersebut kemudian diikuti dua rekomendasi,
yaitu: (1) Umat Islam dianjurkan untuk memilih
pemimpin dan wakil-wakilnya untuk mengemban
tugas
amar ma’rûf nahy munkar
. (2) Pemerintah dan
penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi
penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat
dapat meningkat sehingga hak masyarakat terpenuhi.
Setelah keluarnya fatwa MUI tersebut, banyak
tanggapan
pro
dan
kontra
dari pelbagai kalangan. Ada
yang sependapat dengan fatwa MUI itu dengan alasan
agar ada wakil dari umat Islam yang duduk di DPR.
Selain itu, ada pula pendapat yang tidak setuju dengan
fatwa MUI tersebut karena golput berkaitan dengan
hak memilih, bukan wajib memilih. Disamping itu,
dengan keluarnya fatwa tersebut ada yang berpendapat
bahwa MUI membenarkan praktek pemilu sekarang ini
yang menimbulkan banyak kemudaratan. Mekanisme
pemilihan pemimpin sudah menyimpang dari nilai-
nilai syariah, bahkan dengan fatwa tersebut MUI telah
melanggengkan bobroknya sistem politik di Indonesia.
Fatwa tersebut sebenarnya sebagai salah satu upaya
dari MUI agar umat Islam memilih pemimpin yang
memenuhi kriteria
syar’i
, meskipun pelaksanaan pemilu
itu sendiri sudah sangat liberal dan menyimpang dari
ajaran hukum Islam. Oleh karena itu, maka wajar jika
banyak kalangan yang tidak mendukung adanya fatwa
dari MUI tersebut.
Hal ini, meskipun mekanisme dan sistem pe-
laksanaan pemilu yang belum sesuai dengan syariah,
tetapi setidaknya MUI telah memberikan peringatan
kepada umat tentang pentingnya pemilihan umum
untuk memilih perwakilan umat atau penguasa yang
amanah sesuai dengan tuntutan Rasulullah Saw.
Pemilihan umum di Indonesia yang merupakan praktek
ketatanegaraan yang harus diselenggarakan untuk
memilih pemimpin maupun perwakilan rakyat di
lembaga perwakilan telah menimbulkan permasalahan.
Dengan demikian, MUI memberikan jalan keluar
(meskipun banyak juga yang tidak sependapat) agar
umat Islam tidak terjebak dalam permainan politik
yang dilakukan oleh kaum kafir yang tidak suka dengan
Islam yang kemudian merugikan umat Islam.
Apabila mencermati pendapat di atas dengan mem-
perhatikan pelaksanaan pemilu yang diselenggarakan
di Indonesia, tentu dapat dilihat bahwa memilih wakil
rakyat untuk melakukan tugas sesuai syariah dan dalam
praktek ketatanegaraan berfungsi untuk melakukan
check and balance
atau
mu
h
âsabah li al-
h
ukkâm
(mengoreksi penguasa), tentu saja hukumnya boleh.
Hal ini karena pemilih memilih atau memberikan
wakâlah
kepada wakilnya untuk melakukan tugasnya
diperbolehkan, mungkin juga hukumnya menjadi
wajib. Begitu juga wakil rakyat yang dipilih dengan tugas
membuat undang-undang dengan mekanisme yang
dibenarkan dalam syariah, sehingga undang-undang
yang lahir dari parlemen merupakan undang-undang
yang dibenarkan oleh Islam. Mekanisme pembuatan
undang-undang tidak didasarkan pada suara mayoritas,
tetapi didasarkan pada pertimbangan dalil atau karena
perintah wahyu. Berarti di sini suara rakyat bukanlah
suara Tuhan, tetapi suara Tuhan-lah yang mengatur
kehidupan umat manusia (rakyat).
Dalam hal mencermati rancangan undang-undang
pemilihan kepala daerah yang baru saja disahkan oleh
DPR, dengan opsi pemilihan kepada daerah melalui
DPRD, sebenarnya sebagai upaya mengembalikan kembali
proses demokrasi yang tidak individualistis. Pemilihan
kepala daerah melalui DPRD setidaknya sudah mendekati
kepada syariah, karena tidak mengorbankan rakyat banyak
dengan segala kemudaratan yang dapat ditekan sekecil
mungkin. Adapun rakyat yang mempunyai kedaulatan
dapat mewakilkan kepada wakil-wakilnya yang ada di
DPRD untuk mewakili dalam memilih kepada daerah.
Hal ini juga dapat dikatakan demokratis menurut Islam
dan tidak harus melalui rakyat secara langsung.
Penutup
Pemilu yang dipraktekkan di Indonesia, khususnya,
dan di belahan dunia, pada umumnya, merupakan
praktek ketatanegaraan yang harus dilaksanakan,
66
Ahkam:
Vol. XV, No. 1, Januari 2015
yang selain sebagai implementasi kedaulatan rakyat
juga berfungsi untuk memilih wakil-wakil rakyat dan
memilih pemimpinnya. Akan tetapi apabila dikaji
secara mendalam, praktek pemilu menurut hukum
Islam sebenarnya sudah menyimpang dari ketentuan
syariah, meskipun MUI telah mengeluarkan fatwa
wajib hukumnya untuk memilih dan haram hukumnya
apabila tidak memilih (golput).
Dalam pandangan Islam, pemilu adalah salah
satu cara, bukan satu-satunya cara (
uslûb
) yang biasa
digunakan untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin.
Hal ini, meskipun hukum asal pemilu itu sebagai
uslûb
adalah mubah (boleh), tetapi perlu diketahui bahwa
pelaksanaan pemilu harus sesuai dengan ketentuan
syariah. Dalam pemilu legislatif,
uslûb
itu digunakan
untuk memilih wakil rakyat dengan tugas membuat
undang-undang dan harus sesuai dengan ketentuan
syariah, tidak berdasarkan suara mayoritas serta
melakukan
checks and balancies
terhadap kekuasaan
lainnya. Begitu juga dalam pemilihan kepala negara
dan kepala daerah,
uslûb
ini digunakan untuk memilih
orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin.
Dengan demikian, pemilihan umum dalam pandangan
Islam dapat dipergunakan sebagai salah satu cara dalam
kehidupan kenegaraan, apabila negara yang bersangkutan
telah memilih jalan demokrasi sebagai satu-satunya dalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Akan
tetapi, demokrasi yang dimaksudkan adalah demokrasi
yang sesuai dengan ketentuan syariah. []
Pustaka Acuan
A. Hassan,
Al Furqon
(
Tafsir Al Qur’an
), Jakarta: Tinta
Mas, 1962.
Al-Buraey, Muhammad A.,
Islam Landasan Alternatif
Administrasi Pembangunan
, Terjemahan Achmad
Nashir Budiman, Jakarta: Rajawali Press, 1986,
Cetakan Pertama.
Anshârî, al-, ‘Abd al-
H
âmid,
al-‘Âlam al-Islâmî bayna
al-Syûrâ wa al-Dimuqrathiyah
, Cairo, Dâr al-Fikr al-
Islam, 1922 H, Cetakan ke-1.
Asad, Muhammad, “Pemerintahan Islam dan Asas-
Asasnya”, dalam Salim Azzam (Editor),
Beberapa
Pandangan Tentang Pemerintahan Islam
, terjemahan
Malikul Awwal dan Abu Jalil, Bandung: Mizan, 1983,
Cetakan pertama.
Asshiddiqie, Jimly, “Bung Hatta: Bapak Kedaulatan
Rakyat”, dalam
Bung Hatta Bapak Kedaulatan
Rakyat
, Editor: Sri Edi Swasono, Jakarta: Yayasan
Bung Hatta, 2002.
Asshiddiqie, Jimly,
Islam dan Kedaulatan Rakyat
,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995, Cet. Pertama.
Azzam, Salim,
Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan
Islam
, Bandung: Mizan, 1983.
Bayâtî, al-, Munîr,
al-Nizhâm al-Siyâsî al-Islâmî
.
Baz, al-, Dâwud,
Al-Syûrâ wa al-Dimuqrathiyyah al-
Niyâbiyyah
, Iskandariyah: Dâr al-Fikr al-Jâmi’î,
2004.
Dabbûs, Shalâ
h
al-Dîn,
Al-Khalîfah Tawliyatuh wa
‘Azluh
, Iskandariyah: Muassasah al-Tsaqâfiyyah al-
Jâmi’iyyah, t.t.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia,
Kamus Besar Bahasa Indonesia
, Jakarta:
Balai Pustaka, 1991.
Hatta, Mohammad,
Demokrasi Kita
, Jakarta:Ghalia
Indonesia, 1977.
Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah
dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia,
Al Qur’an
dan Terjemahannya
, Medina Al-Munawwarah:
Percetakan Raja Fahd, 1418.
Mas’udi, Masdar Farid,
Syarah Konstitusi UUD 1945
dalam Perspektif Islam
, Jakarta: Alvabet, 2010.
Mufti, Mu
h
ammad A
h
mad,
Mafâhîm Siyâsah
Syar’iyyah
, Amman: Dâr al-Basyîr, 1418 H.
Samuddin, Rapung,
Fiqih Demokrasi, Menguak
Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat
Pemilu dan Politik
, Jakarta: Gozian Press, 2013.
Singodimedjo, Kasman,
Masalah Kedaulatan
, Jakarta: Abstract.
General Election in Islamic Law.
This article discuss the implementating general election in Islamic law,
both the legislative elections, elections of regional heads and presidential elections. Indonesian elections in accordance
with the mechanism of the western democracies, so that the election is the only way in choosing representatives and
leaders. In the Islamic view of the elections is not the only way but one of the ways to choose a government or leader.
Elections according to the Islamic view of the law may permissible, but must be in accordance with the implementation
of sharia, not using a mechanical cause many western democracies not helpful.
Abstract:
general election, Islamic law, democracy
Abstrak.
Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam.
Tulisan ini menjelaskan tentang pelaksanaan pemilihan umum
menurut hukum Islam, baik pemilu legislatif, kepala daerah maupun presiden. Pelaksanaan pemilu di Indonesia
sesuai dengan mekanisme demokrasi Barat sehingga pemilu merupakan satu-satunya cara dalam memilih wakil rakyat
maupun pemimpin. Dalam pandangan Islam, pemilu bukan merupakan satu-satunya cara tetapi salah satu cara yang
dilakukan untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin. Pemilu menurut pandangan Islam hukumnya boleh atau
mubah, tetapi pelaksanaannya harus sesuai ketentuan syariah, tidak menggunakan mekanisme demokrasi Barat yang
banyak menimbulkan kemudaratan.
Kata kunci:
pemilihan umum, hukum Islam, demokrasi
Naskah diterima: 27 Februari 2015, direvisi: 25 November 2015,
disetujui untuk terbit: 4 Desember 2014.
Pendahuluan
Pemilihan umum, yang kemudian dikenal dengan
pemilu, dalam demokrasi Barat merupakan salah satu
implementasi dari kedaulatan rakyat, sehingga apa
pun alasannya agar hak-hak rakyat dapat disalurkan
maka pemilulah yang harus diselenggarakan. Hiruk
pikuk penyelenggaraan pemilu di Indonesia, baik
pemilu kepala daerah, legislatif maupun presiden dan
wakil presiden, dilaksanakan dalam rangka untuk
memenuhi kedaulatan rakyat yang merupakan suatu
praktek ketatanegaraan untuk mengisi jabatan publik.
Perdebatan panjang mengenai RUU pemilihan kepala
daerah yang kemudian hasil sidang paripurna DPR
mengesahkan pemilihan kepada daerah melalui DPRD
juga merupakan alasan dalam rangka untuk meng-
implementasikan kedaulatan rakyat yang dimaksud.
Oleh karena pelaksanaan pemilu tersebut merupa-
kan amanat yang dikandung dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka
pemilu yang merupakan praktek ketatanegaraan yang
harus dilaksanakan. Pemilu selain implementasi dari
kedaulatan rakyat, juga pemilu dilaksanakan se
bagai
pemenuhan hak-hak asasi manusia, juga pemilu di-
laksanakan sebagai penggantian pejabat negara secara
teratur. Akan tetapi, setiap pemilu yang diselenggara-
kan selalu menimbulkan masalah, dan terjadi sengketa
antara peserta pemilu maupun dengan penyelenggara
pemilu. Pemilu yang diselenggarakan membutuhkan
biaya yang sangat mahal, baik biaya sosial maupun dana
yang berasal dari anggaran negara/daerah. Konflik yang
terjadi setelah pemilu dilaksanakan, karena ada pihak
yang merasa tidak puas dengan hasil yang diperoleh.
Wakil-wakil rakyat yang terpilih juga belum tentu
menghasilkan wakil yang membawa amanah, justru
wakil yang dipilih adalah para koruptor, baik anggota
legislatif maupun kepala daerah. Apabila melihat realita
demikian, maka pemilu yang dilaksanakan di Indonesia
banyak menimbulkan mudarat daripada manfaat yang
diperoleh.
Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan
agama Islam harus menjadi bagian dalam kehidupan
nya,
termasuk di dalamnya adalah bagaimana cara memilih
pemimpin. Agama Islam (termasuk hukumnya) tidak
60
Ahkam:
Vol. XV, No. 1, Januari 2015
memberikan batasan untuk memilih metode tertentu
dalam memilih wakil rakyat atau pemimpinnya. Hal
ini dikarena dalam Islam (Hukum Islam) mempunyai
tujuan yang agung yaitu agar tidak ada kesulitan (
h
araj
)
bagi kaum muslimin. Dengan demikian, umat dapat
memilih pemimpinnya (wakil rakyat, kepala daerah
maupun presiden) mereka berdasarkan metode yang
sejalan dengan tuntutan zaman, tempat dan waktu
selama tidak keluar dari batas syariat.
Sebenarnya terjadi perbedaan pendapat di antara
ulama atau fukaha dalam hal praktek pemilu, khususnya
yang dipraktekkan di Indonesia maupun di dunia lain.
Ada yang menyatakan bahwa pemilu adalah salah satu,
bukan satu-satunya cara (
uslûb
), yang bisa digunakan
untuk memilih para wakil rakyat yang duduk di majelis
perwakilan atau untuk memilih penguasa. Sebagai salah
satu cara, dalam pandangan Islam, tentu saja pemilu
ini tidak wajib
1
. Menurut pendapat ini tentu saja
perlu dicari cara lain yang sesuai dengan syariat. Islam
memberikan alternatif dalam pemilihan wakil rakyat
yang akan duduk di majelis perwakilan maupun memilih
penguasa untuk memimpin rakyatnya. Syariat tidak
menentukan sistem apa yang digunakan, tetapi Islam
memberikan pedoman dalam kehidupan bernegara.
Agama Islam itu nasihat sebagaimana Rasulullah Saw
bersabda: “
Agama itu nasihat. “Kami bertanya: “Untuk
siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Untuk Allah,
Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin
dan mereka semuanya (kaum muslim)
”. (H.r. Muslim
dari Tamîm al-Dârî).
Hadits tersebut menunjukkan agar umat dalam
setiap perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan di
hadapan Allah Swt., termasuk dalam melaksanakan
pemilu. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (yaitu)
ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, yang
satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di
sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya,
melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir. (Q.s. Qâf [50]: 16-18)
Allah Swt. telah menurunkan syariat untuk meng
atur
kehidupan umat manusia (rakyat), sehingga diterima
atau tidaknya pertanggungjawaban tersebut ditentukan
dengan syariat. Apabila sesuai dengan syariat, maka
akan diterima, sebaliknya apabila tidak sesuai maka
akan ditolak, sebagaimana Sabda Nabi Saw. bahwa
siapa saja yang melakukan amal perbuatan yang tidak
1
Dikutip dari Buletin Dakwah,
Al-Islam
, “Untuk Kita Renungkan”,
Hizbut Tahrir Indonesia, Edisi 701 Tahun XIX 11 Jumadil Akhir 1435
H/11 April 2014 M.
sesuai dengan tuntutan syariat maka perbuatan itu akan
tertolak. (H.r. Muslim). Begitu juga dalam pelaksanaan
pemilu di Indonesia, harus dilihat apakah sudah sesuai
dengan syariat atau belum.
Hakikat Kedaulatan Rakyat
Berbicara kedaulatan rakyat berarti membicara-
kan tentang kekuasaan yang tertinggi ada pada rakyat
sebagaimana dikemukakan di atas. Untuk meng-
implementasikan kedaulatan rakyat maka harus di-
laksanakan dengan pemilihan. Pemilihan semacam ini
sebagai wujud dari demokrasi perwakilan yang dikenal
selama ini, karena tidak mungkin semua rakyat dapat
memimpin sehingga perlunya perwakilan umat/rakyat
sebagai aspirasi rakyat.
Kata ”kedaulatan” berasal dari bahasa Arab, yaitu
dawlah
atau
dûlah
, dalam kamus
al-Zurjawî
dikatakan
bahwa secara harfiah
dûlah
atau
dawlah
berarti
”putaran atau giliran”
2
. Kata
dawlah
memiliki dua
bentuk yaitu pertama,
dûlatan
yang berarti beredar.
Istilah ini dihubungkan dengan adanya larangan
peredaran kekayaan hanya di antara orang kaya. Kedua,
nudâwiluhâ
yang berarti mempergantikan. Istilah ini
berkaitan dengan adanya penegasan bahwa kekuasaan
merupakan sesuatu yang harus digilirkan di antara
umat
3
. Menurut sejarah peradaban Islam, kata
dawlah
dipergunakan untuk menunjuk pada pengertian rezim
kekuasaan, seperti Daulah Bani Umayyah dan Daulah
Bani ’Abbasiyyah
4
. Masdar Farid Mas’udi menyatakan:
Kedaulatan sebagai konsep kekuasaan (
sovereignty
)
untuk mengatur kehidupan ada yang bersifat terbatas
(
muqayyad
), relatif (
nisbî
) dan ada yang tidak terbatas
(
ghayr muqayaad
) atau mutlak (absout). Kedaulatan
absolut adalah kedaulatan atas semua kedaulatan yang
tidak dibatasi oleh kedaulatan pihak lain. Kedaulatan
absolut hanya milik Allah Swt., untuk mengatur alam
semesta melalui hukum alam-Nya dan mengatur
kehidupan manusia melalui sinyal-sinyal hukum moral
yang diilhamkan kepada setiap nurani (
qalb
) manusia
atau diwahyukan melalui para nabi dan rasul-Nya,
sedangkan dalam negara sebagai bangunan sosial dan
proyek peradaban yang direkayasa oleh manusia dalam
wilayah tertentu yang berdaulat adalah manusia secara
kolektif sebagai khalifah-Nya
5
.
Makna kedaulatan dapat ditemukan dalam
Alquran antara lain Q.s. Âli ’Imrân [3]: 26 yang arti-
nya ”Katakanlah: Wahai Tuhan Yang mempunyai
2
Masdar Farid Mas’udi,
Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam
Perspektif Islam
, (Jakarta: Alvabet, 2010), h. 46.
3
Jimly Asshiddiqie, “Bung Hatta: Bapak Kedaulatan Rakyat”,
dalam
Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat
, Editor: Sri Edi Swasono,
(Jakarta: Yayasan Bung Hatta, 2002), h. 87.
4
Jimly Asshiddiqie,
Islam dan Kedaulatan Rakyat
, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1995), Cet. Pertama, h. 87.
5
Masdar Farid Mas’udi,
Syarah Konstitusi UUD 1945
, h. 47.
61
Sodikin:
Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam
kerajaan...”
6
. Dalam tafsir dan kajian yang lain ter-
hadap ayat tersebut ada pula yang menerjemahkan
sebagai ”Katakanlah Hai Tuhan Yang memiliki (sekalian)
Kekuasaan,...”
7
. Ada juga yang mengartikan ”Ia, Allah
Tuhan yang berdaulat...”
8
.
Selanjutnya kata ”rakyat” diartikan dengan se-
genap penduduk suatu negara (sebagai imbangan
pemerintahan)
9
. Dalam bahasa Inggris diartikan dengan
people
, sedangkan dalam bahasa Arab dijumpai kata
ra’iyyah
yang mengacu pada pengertian masyarakat
(rakyat). Pada dasarnya setiap negara akhirnya akan
berbicara tentang rakyat, dan rakyat pada suatu
negara adalah pemegang kekuasaan, artinya rakyat
menjadi sumber kekuasaan dalam arti relatif. Moh.
Hatta menyatakan bahwa kedaulatan rakyat berarti
pemerintahan rayat yang dilakukan oleh para pemimpin
yang dipercaya oleh rakyat. Dengan sendirinya di
kemudian hari pimpinan pemerintahan di pusat dan
daerah jatuh ke tangan pemimpin-pemimpin rakyat
10
.
Pemahaman tentang rakyat dalam kedaulatan
rakyat berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat dan
menempatkan kekuasaan tertinggi ada pada rakyat.
Ajaran kedaulatan rakyat sebagai ajaran yang terakhir
dipraktekkan pada negara-negara modern mendapatkan
tempat yang baik, karena ajaran kedaulatan rakyat
dapat dianggap sebagai ajaran yang terbaik selain ajaran
kedaulatan yang lainnya. Oleh karena rakyat berdaulat
atau berkuasa, maka segala aturan dan kekuasaan
yang dijalankan oleh negara tidak boleh bertentangan
dengan kehendak rakyat. Menurut ajaran ini, rakyat
berdaulat dan berkuasa untuk menentukan bagaimana
rakyat diperintah dalam rangka mencapai tujuan
negara. Ajaran ini dipraktekkan pada negara-negara
Barat yang bersifat individualistis karena menempatkan
rakyat sebagai sesuatu yang tinggi, sehingga menurut
mereka suara rakyat adalah suara Tuhan. Akan tetapi
dalam ajaran Islam bukan berarti rakyat yang berkuasa,
tetapi ada hak Allah yang harus didahulukan, sehingga
setiap peraturan perundang-undangan atau hukum
harus sesuai syariat.
Seorang tokoh dan intelektual muslim, yaitu Kasman
Singodimedjo menyatakan bahwa:
6
Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyad
Kerajaan Saudi Arabia,
Al Qur’an dan Terjemahannya
, (Medina Al-
Munawwarah: Percetakan Raja Fahd, 1418), h. 79.
7
A. Hassan,
Al Furqon
(
Tafsir Al Qur’an
), (Jakarta: Tinta Mas,
1962), h. 103.
8
Salim Azzam,
Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam
,
(Bandung: Mizan, 1983), h. 80.
9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Kamus Besar Bahasa Indonesia
, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991) h. 722.
10
Mohammad Hatta,
Demokrasi Kita
, (Jakarta:Ghalia Indonesia,
1977), h. 89.
Karena rakyat atau umat itu selalu terdiri atas mausia-
manusia, dan karena manusia itu sebagai makhluk selalui
daif atau lemah (Allah menyatakan di dalam Alquran
insân dha’îf
yang artinya manusia itu lemah), maka
tentunya semua hasil atau produk daripada kedaulatan
rakyat/umat itu selalu pula tidak dapat dijamin
kebenarannya setiap waktu. Apalagi apabila ada ekses-
ekses atau
overacting
yang lucu-lucu, sehingga dengan
begitu tidak pula dapat dikatakan, bahwa kedaulatan
rakyat itu selalu mengandung kekuasaan yang mutlak/
absolut benar. Dan karena yang mutlak benar itu adalah
Allah, maka kedaulatan rakyat/umat itu, jika mau benar
dan baik haruslah disesuaikan dan diarahkan kepada
isi, maksud dan tujuan dari kedaulatan Allah, yang
berkekuasaan penuh sepenuh-penuhnya atau mutlak).
11
Menurut ajaran Islam, sebagaimana dikemuka-
kan oleh Kasman Singodimedjo, bahwa Allah Yang
menciptakan dan Tuhan seru sekalian alam seisinya
itu sungguh-sungguh mentolerir/mengizinkan adanya
kedaulatan rakyat, adanya kedaulatan negara dan
adanya kedaulatan hukum, yang tentunya di dalam arti
terbatas, yaitu di dalam batas-batas keizinan Allah
12
.
Ekspresi berdaulatnya Allah tercermin dalam Q.s. al-
A
h
zâb [33]: 36 yang dapat diartikan bahwa jika Allah
dan Rasul telah menetapkan suatu perkara (hukum),
maka seorang mukmin atau mukminat tidak boleh
menetapkan ketentuan lain menurut keinginannya
sendiri. Pendapat Kasman Singodimedjo yang tercermin
dalam Q.s. al-A
h
zâb [33]: 36 tersebut menunjukkan
bahwa meskipun kedaulatan yang berarti rakyat yang
berdaulat dalam arti rakyat yang mempunyai kekuasaan,
tetapi masih ada yang lebih berdaulat atau berkuasa
yaitu Allah Swt. Di sini suara rakyat bukanlah suara
Tuhan, karena rakyat dapat saja melakukan perbuatan
yang tidak sesuai dengan syariat.
Dengan demikian, dalam Islam kekuasaan politik
hanya memiliki wewenang hukum untuk mem
buat
produk hukum sebagai upaya menjalankan syariat.
Persoalan kemudian adalah bagaimana Allah meng-
ekspresikan kedaulatan-Nya di dunia nyata. Alquran
menegaskan bahwa manusia di bumi adalah
khilâfah
(pengganti) Allah dengan tugas memakmurkan bumi
dan kekuasaan yang dimiliki adalah amanah. Oleh
karena itu dalam Islam, kedaulatan Tuhan merupakan
sumber dari segala kedaulatan.
Dalam pandangan Islam, kekuasaan yang dimiliki
umat Islam bukanlah hak bawaan mereka sendiri,
melainkan amanat dari Allah.
13
Demikian juga
11
Kasman Singodimedjo,
Masalah Kedaulatan
, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978), h. 40.
12
Kasman Singodimedjo,
Masalah Kedaulatan
, h. 24.
13
Muhammad Asad, “Pemerintahan Islam dan Asas-Asasnya”,
dalam Salim Azzam (Editor),
Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan
Islam
, terjemahan Malikul Awwal dan Abu Jalil, (Bandung: Mizan,
1983), Cetakan pertama, h. 80-81.
62
Ahkam:
Vol. XV, No. 1, Januari 2015
Muhammad A. Al-Buraey menyatakan bahwa:
Pemerintahan dan penguasa hanya untuk Allah dan
harus sesuai dengan syariat, tidak ada seorang pun atau
kelompok yang memiliki hak untuk mengingkari Tuhan,
kedaulatan hanya untuk Allah semata, legislasi juga
hanya untuk Allah, sehingga pemerintahan negara Islam
memperoleh keabsahannya hanya dengan melaksanakan
hukum-hukum Allah atau syariah-Nya.
14
Beberapa ayat Alquran yang menjadi dalil dan
landasan bahwa kedaulatan rakyat bersumber pada
hukum Allah adalah Q.s. Fâthir [35]: 16-17, Q.s. al-
Ma’ârij [70]: 40-41 dan Q.s. al-Furqôn [25]: 36-39
Dengan demikian, dipertegas oleh Kasman
Singodimedjo bahwa:
Mengenai kedaulatan rakyat atau kedaulatan ummat,
maka sesungguhnya rakyat atau umat itu tidak dapat
dikatakan berdaulat di dalam arti berkuasa penuh,
karena rakyat/ummat itu tetap saja terdiri atas manusia-
manusia yang sifatnya daif atau lemah sebagai makhluk.
15
Oleh karena rakyat atau umat tidak dapat berkuasa
sepenuhnya dan mereka merasa perlu untuk memilih
pemimpin di antara mereka secara bersama yang
kemudian diwakilkan kepada para wakilnya yang akan
duduk di pemerintahan, baik di legislatif maupun
di eksekutif. Wakil-wakil rakyat tersebut harus
menyalurkan aspirasi rakyat, aspirasi rakyat yang tentu
yang sesuai dengan syariat, yang berarti pemimpin
itu telah sungguh-sungguh hanya bertugas atas nama
rakyat/umat yang sejalan dengan kehendak Tuhan.
Dengan demikian, dikenallah pemilihan untuk
memilih wakil-wakil rakyat/umat di antara mereka.
Maka di dalam sejarah kebudayaan Islam sebenarnya
sudah mengenal metode atau cara untuk memilih
pemimpin umat, yang berbeda dengan metode yang
sekarang dikenal yaitu pemilihan umum sebagai
implementasi kedaulatan yang dimaksud menurut versi
demokrasi Barat.
Sejarah Pemilu dalam Peradaban Islam
Pemilu dalam sejarah peradaban Islam ditemukan dari
peristiwa yang mengarah pada bentuk sebuah pemilu yang
kemudian dijadikan landasan oleh para ulama sekarang
untuk membenarkan pemilu yang saat ini dipraktekkan.
Misalnya Baiat
al-Nuqabâ
’ (wakil-wakil suku), yaitu ketika
kaum Anshar membaiat Nabi Saw. di ‘Aqabah. Saat itu,
Nabi Saw. bersabda bahwa pilihlah untukku dari kalian
dua belas orang wakil yang akan menunaikan apa-apa yang
14
Muhammad A. Al-Buraey,
Islam Landasan Alternatif Administrasi
Pembangunan
, Terjemahan Achmad Nashir Budiman, (Jakarta:
Rajawali Press, 1986), Cetakan Pertama, h. 157.
15
Kasman Singodimedjo,
Masalah Kedaulatan
,, h. 54.
dibutuhkan oleh kaum mereka.
16
Selanjutnya dalam kisah
utusan Hawzan, bahwa utusan Hawzan datang kepada
Rasulullah Saw. dalam keadaan Muslim dan memberi
baiat. Ia memohon kepada Nabi Saw. agar mengembalikan
harta mereka (yang dirampas karena perang). Nabi pun
minta persetujuannya (kaum muslimin) tentang hal itu
dan mereka memberikan isyarat keridaan. Akan tetapi
Nabi tidak cukup dengan persetujuannya saja, selanjutnya
Nabi bersabda bahwa Kami tidak mengetahui siapa yang
mengizinkan kalian tentang demikian dan siapa yang tidak
mengizinkan. Pulanglah, hingga masalah ini diangkat
(diadukan) kepada kami oleh wakil yang kalian tunjuk.
17
Dua riwayat tersebut dijadikan alasan atau dasar
oleh para ulama sekarang terhadap persoalan pemilihan
umum, karena kedua riwayat tersebut mempunyai
makna mengenai persoalan kedaulatan rakyat, yaitu
rakyat memberikan pilihannya kepada mereka yang
mewakilinya.
Begitu juga periode sesudah Nabi Saw., yaitu pada
masa
al-Khulafâ’ al-Râsyidûn
. Pemilihan
al-Khulafâ’ al-
Râsyidûn
berbeda dengan metode pemilu yang dikenal
sekarang. Pemilihan umum yang dikenal pada masa
al-
Khulafâ’ al-Râsyidûn
dapat ditemui janji setia (baiat) dari
masing-masing khalifah yang terpilih. Janji setia (baiat)
dilaksanakan di masjid kemudian rakyat memberikan
baiat kepada khalifah, sehingga di sini ada keterlibatan
dan peran rakyat dalam baiat khalifah.
Pada saat pemilihan Abû Bakr yang dilakukan di
balai pertemuan Bani Saidah oleh kelompok kecil yang
terdiri atas lima orang selain Abû Bakr, yaitu ‘Umar
ibn al-Khaththâb, Abû Ubaydah ibn Jara
h
, Basyîr ibn
Sa’ad, Asid ibn Khudayr dan Sâlim, seorang budak Abû
Khudzayfah yang telah dimerdekakan.
18
Kelima orang
itu merupakan perwakilan dari kelompok Muhajirin
(suku Quraisy) dan kelompok Anshar masing-
masing dari unsur Khazraj dan Aus. Hal ini berbeda
dengan ‘Umar ibn al-Khaththâb yang terpilih tidak
melalui proses pemilihan sebagaimana Khalifah Abû
Bakr. Meskipun demikian, ‘Umar ibn al-Khaththâb
menyatakan ketika sampai kepadanya berita bahwa
orang-orang berkata bahwa jika ‘Umar meninggal dunia
mereka akan memberikan baiat pada si Fulan. Beliau
juga melarang bahwa barangsiapa membaiat seorang
pemimpin tanpa proses musyawarah, baiatnya dianggap
tidak sah, dan tidak ada baiat terhadap orang yang
mengangkat baiat terhadapnya atau keduanya harus
16
Dikutip ulang oleh Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
Menguak Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan
Politik
, (Jakarta: Gozian Press, 2013), Cetakan Pertama, h. 304-305.
17
Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
h. 304-305.
18
Munawir Sjadzali,
Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran
, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 23.
63
Sodikin:
Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam
dibunuh.
19
Riwayat ini adalah bentuk dari pemilihan
umum yang dikenal pada saat itu melalui mekanisme
musyawarah dengan rakyat dan mengembalikan urusan
pemilihan pemimpin kepada rakyat (kaum muslimin).
Riwayat selanjutnya adalah perbuatan ‘Abd al-Ra
h
mân
ibn ‘Awf ketika bermusyawarah dan meminta pendapat
rakyat untuk menetapkan siapa yang laik menjadi
seorang khalifah setelah ‘Umar ibn al-Khaththâb wafat.
Diwirayatkan bahwa ‘Abd al-Ra
h
mân ibn ‘Awf selama
tiga hari bermusyawarah dan meminta pandangan rakyat
hingga mantap pilihan jatuh pada ‘Ustmân ibn ‘Affân. Saat
itu beliau berkata bahwa beliau melihat pilihan manusia
tidak bergeser pada Utsmân.
20
Riwayat ‘Abd al-Ra
h
mân
ibn ‘Awf ini menunjukkan peran dan keterlibatan rakyat
dalam pemilihan khalifah. Begitu juga dalam pemilihan
‘Alî ibn Abî Thâlib, dipilih melalui pemilihan, meskipun
banyak yang menentangnya. Pada saat ‘Alî ibn Abî Thâlib
terpilih, ‘Alî ibn Abî Thâlib menolak jika baiatnya hanya
sebagai baiat khusus dari
ahl al-
h
all wa al-‘aqdi
. ‘Alî ibn
Abî Thâlib kemudian berdiri di dalam masjid dan rakyat
berbondong-bondong memberikan baiat kepada beliau.
21
Bentuk demikian merupakan bentuk pemilu karena ada-
nya keterlibatan dan peran rakyat dalam menyukseskan
baiat seorang pemimpin (khalifah).
Dengan demikian, pemilu dalam Islam dapat di-
gambarkan yaitu: (1) Kandungan proses pemilu berupa
keharusan tegaknya baiat atas pilihan dan rida rakyat,
merupakan perkara yang tercakup dalam syariat. Baiat
dalam Islam tidak terjadi melainkan atas asas pilihan,
maka baiat yang terjadi pada seluruh
al-Khulafâ’ al-
Râsyidûn
, yang tegaknya berdasarkan rida dan pilihan.
(2) Menyerahkan urusan baiat dan ketaatan kepada
rakyat merupakan perkara yang diakui oleh syariat.
Wajib bagi seluruh rakyat memberi baiat kepada imam
(kepala negara) mereka. Karena baiat kemudian terikat
oleh hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban.
22
Terdapat perbedaan antara pemilu yang terjadi di
Indonesia saat ini dengan apa yang terjadi dalam Islam
sebagaimana diriwayatkan di atas. Perbedaan tersebut
adalah: (1)Menyerahkan urusan pemilihan kepala
negara kepada seluruh rakyat, serta membatasinya
pada orang yang mereka (rakyat) kehendaki. Hal ini
tentunya tidak terdapat dalam Islam. Dalam sejarah
Islam, pemilihan khalifah yang dilakukan oleh
ahl al-
19
Hadis riwayat al-Bukhârî,
Sha
h
î
h
al-Bukhârî, Bâb Rajm al-
H
ublâ
fî al-Zinâ Idzâ Ahshanat
, No. 6830, sebagaimana dikutip oleh Rapung
Samuddin,
Fiqih Demokrasi, Menguak Kekeliruan Panangan Haramnya
Umat Terlibat Pemilu dan Politik
, (Jakarta: Gozian Press, 2013), h. 306.
20
Hadis riwayat al-Bukhârî,
Sha
h
î
h
al-Bukhârî,
, No. 6781.
21
Abû Ja’far al-Thabarî,
Târîkh al-Thabarî,
(Beirut: Dâr al-Fikr,
1997), h. 75.
22
Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
h. 308 – 309.
h
all wa al-‘aqdi
, kemudian diikuti oleh baiat seluruh
rakyat, sebagaimana terjadi pada masa Abû Bakr atau
keterlibatan manusia dalam baiat khalifah secara
langsung tanpa ada pilihan dan pembatasan bagi mereka
sebagaimana terjadi pada baiat ‘Alî ibn Abî Thâlib. (2)
Pemberian kepada setiap orang satu hak suara yang
sifatnya terbatas, sebab dari perhitungan suara tersebut
keluar siapa yang akan menjadi pemimpin berdasarkan
suara mayoritas. Metode ini juga tidak terdapat dalam
sejarah Islam. Baiat yang sifatnya umum terselenggara
berdasarkan rida manusia dan kesediaan mereka mem-
berikan baiatnya. Adapun baiat yang sifatnya khusus
dari
ahl al-
h
all wa al-‘aqdi
terselenggara setelah me-
lalui proses musyawarah dan pertimbangan tanpa
mem
perhatikan perhitungan suara seperti pemilu hari
ini. Kendati para fukaha menyatakan bahwa yang di-
kedepankan adalah pendapat mayoritas dan bukan
selainnya, namun hal ini pun terbatas pada pendapat
dan pandangan
ahl al-
h
all wa al-‘aqdi
dan bukan
pandangan umum sebagaimana terjadi hari ini. (3)
Adanya calon-calon lain yang ikut bertarung untuk
mendapatkan pilihan dan baiat dari rakyat. Padahal
persoalan menyerahkan baiat kepada rakyat dalam
sejarah Islam bukan untuk tujuan membedakan dan
memilih calon-calon yang bertarung, akan tetapi untuk
memberi baiat kepada khalifah yang dipilih oleh
ahl
al-
h
all wa al-‘aqdi
atau ikut serta (bersama
ahl al-
h
all
wa al-‘aqdi
) dalam memberikan baiat kepada seseorang
tertentu.
23
Perbedaan Sikap Ulama
Sikap para ulama terhadap pemilu terbagi menjadi
dua kelompok dengan pandangan yang berbeda.
Kelompok pertama, yaitu yang mengharamkan pemilu
sebagai
mana dipraktekkan sekarang ini. Menurut
kelompok ini, pemilu sekarang sudah tidak sesuai
dengan syariah. Karena pemilu hukumnya tidak
boleh atau haram, maka tidak boleh menempuh
atau mempraktekkan metode pemilu dalam bentuk
seperti yang dipraktekkan hari ini
24
. Pendapat ini
dikemukakan oleh Mu
h
ammad ‘Abd Allâh al-Imâm,
Ma
h
mûd Syâkir,
H
âfizh Anwâr, al-Amîn al-
H
ajj dan
Mu
h
ammad ibn Sa’ad al-Ghâmidî. Ada beberapa
alasan bagi
kelompok ini untuk mengharamkan pemilu
sebagaimana dipraktekkan sekarang ini (khususnya
di Indonesia), seperti: (1) Pemilu yang dipraktekkan
sekarang ini tidak
dikenal dalam Islam karena tidak
ada dalil-dalilnya. (2) Pemilu
yang diselenggarakan
menimbulkan kerusakan, tidak ada ketakwaan terhadap
23
Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
h. 309 – 310.
24
Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
h. 311.
64
Ahkam:
Vol. XV, No. 1, Januari 2015
Allah Swt.,
penggunaan dana yang besar (pemborosan),
sikap fanatik terhadap kelompoknya sendiri,
jual beli
suara dan mengelabui pemilih sehingga pelaksanaan
pemilu banyak
menimbulkan kemudaratan daripada
manfaat. (3) Sistem pemilu legislatif dengan suara
mayoritas tidak dikenal dalam Islam karena dalam
Islam yang menjadi
ukuran adalah sebuah kebenaran
yang wajib diterima. (4) Tidak dipenuhi
syarat-syarat
orang untuk dipilih menjadi pemimpin karena sekarang
ini
semua orang mempunyai hak yang sama untuk
dipilih. (5) Persamaan
hak untuk memilih (persamaan
mutlak tanpa ada perbedaan keahlian masing-
masing)
sehingga tidak sesuai dengan firman Allah dalam
Q.s.
al-Zumar [39]: 9 yang artinya “Adakah sama
orang-orang
yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui ? Sesungguhnya orang
yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (6) Aturan
demokrasi yang
diambil dari Barat sehingga merupakan
aturan jahiliyah. (7) Dalam kenyataannya,
tujuan dari
pelaksanaan pemilu menghasilkan jabatan yang tidak
mencapai kebaikan
dan maslahat bagi masyarakat. (8)
Tidak adanya perbaikan yang signifikan
bagi kehidupan
umat manusia.
Kelompok kedua berpandangan menghalalkan
pemilu sebagaimana
dipraktekkan sekarang ini karena
masih tetap dalam koridor syariah. Kelompok
ini
berpendapat bahwa pemilu sebagaimana dipraktekkan
sekarang ini hukumnya halal, selama
metode pemilihan
sesuai dengan syariah. Pendapat ini dikemukakan oleh
mayoritas
ulama kontemporer, seperti Mu
h
ammad
Rasyîd Ridhâ, Abû al-A’lâ al-Mawdûdî, Yûsuf al-
Qaradhawî dan ‘Abd al-Qâdir Awdah. Ada beberapa
alasan atau dalil yang membolehkan pemilu seperti
sekarang ini, yaitu: (1) Inti sebenarnya dari baiat adalah
pemberitahuan dari rakyat yang memberikan baiat
akan persetujuan dan rida terhadap seseorang yang
akan dibaiat, dan hal ini terwujud dalam pemilu hari
ini
25
. (2) Kenyataan dalam sejarah Islam dan riwayat
Islam menunjukkan adanya sebuah proses pemilu. (3)
Syariat Islam datang membawa pengakuan bagi peran
dan rida rakyat dalam baiat serta tidak menetapkan
batasan metode yang dengannya diketahui keridaan
itu. Pemilu termasuk salah satu metode aktual yang
digunakan untuk mengetahui keridaan rakyat.
Disamping itu, tidak ada dalil yang menunjukkan
pelarangan dan tidak pula yang membatasi metodenya
dengan sarana-sarana tertentu.
26
(4) Umatlah yang
25
‘Abd al-
H
âmid al-Anshârî,
al-‘Âlam al-Islâmî bayna al-Syûrâ wa
al-Dimuqrathiyah
, (Cairo, Dâr al-Fikr al-Islam, 1922 H), Cetakan ke-
1, h. 30 dan 324.
26
Mu
h
ammad A
h
mad Mufti,
Mafâhîm Siyâsah Syar’iyyah
,
(Amman: Dâr al-Basyîr, 1418 H), h. 50, lihat pula Munîr al-Bayâtî,
merupakan pemilik hak dalam pemilihan seorang
hakim atau kepala negara. Jika demikian, maka bagi
mereka hak terlibat secara langsung dalam pemilihan
atau melalui wakil-wakilnya dari kalangan
ahl al-
h
all
wa al-‘aqd
.
27
(5) Metode pengangkatan seorang khalifah
atau kepala negara termasuk dalam kategori ijtihadiyah.
Tidak ada dalil khusus yang membatasinya dengan satu
metode tertentu, sebab ia berbeda menurut perbeda
an
tempat dan zaman. Dibolehkan menempuh metode
apa saja dalam pemilihan pemimpin selama tidak
ber
tentangan dengan nas-nas syarak.
28
(6) Pemilihan
umum merupakan metode aktual yang dengannya
dapat diketahui pandangan rakyat secara adil dan
obyektif. Mereka yang berbeda dengan metode ini tentu
tidak memiliki dalil yang sahih. Ketika mereka ingin
mengetahui tentang
ahl al-
h
all wa al-‘aqd
serta metode
dan batasan yang digunakan untuk zaman sekarang,
adakah cara selain metode pemilu? Bagaimana mereka
menjamin perpindahan kekuasaan serta mencegah
aturan-aturan politik dari kezaliman tanpa melalui
proses pemilu.
29
(7) Allah Swt. memuji kaum mukmin
yang telah menyeru kepada yang makruf dan mencegah
kemunkaran sebagaimana dalam Q.s. Âli ‘Imrân [3]:
110 yang artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman
kepada Allah”, dan Q.s. Âli ‘Imrân [3]: 104 yang
artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru pada kebajikan, menyuruh pada
yang makruf dan mencegah yang munkar. (8) Tidak
mungkin seluruh umat menegakkan kewajiban dan
tidak pula selain kewajiban
kifâ’î
. Hendaknya bagi
mereka mengambil asas perwakilan, yaitu manusia
menyerahkan kewajiban tersebut kepada wakil mereka.
Masalah ini yang terjadi dan diwujudkan dalam pemilu
yang dipraktekkan saat ini untuk memilih perwakilan
rakyat kepada orang-orang yang akan menegakkan
kewajiban
kifâyah
tersebut.
30
Fatwa MUI tentang Haramnya Golput
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan
fatwa haram untuk golput atau tidak menggunakan
hak pilih pada saat pemilu. Fatwa tersebut dikeluarkan
pada tanggal 25 Januari 2009, ketika Majelis Ulama
al-Nizhâm al-Siyâsî al-Islâmî
, h. 178 dan 325.
27
Munîr al-Bayâtî,
al-Nizhâm al-Siyâsî al-Islâmî
, h. 322 dan 325.
28
Shalâ
h
al-Dîn Dabbûs,
Al-Khalîfah Tawliyatuh wa ‘Azluh
,
(Iskandariyah: Muassasah al-Tsaqâfiyyah al-Jâmi’iyyah, t.t.), h. 243-244.
29
Dâwud al-Baz,
Al-Syûrâ wa al-Dimuqrathiyyah al-Niyâbiyyah
,
(Iskandariyah: Dâr al-Fikr al-Jâmi’î, 2004) h. 153 dan 326-327.
30
‘Abd al-Karîm Zaydan,
Makalah al-Dimuqratiyah wa Musyârakah
al-Muslim fî al-Intikhâbât, Majallah al-Majma’ al-Fiqh al-Islâmî
,
Râbithah al-‘Âlam al-Islâmî, Edisi X, 1426 H, h. 58-59 dan 327.
65
Sodikin:
Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam
Indonesia melakukan sidang Ijtima ke-III yang digelar
di Padang Panjang, Sumatera Barat. Berdasarkan hasil
sidang yang dihadiri sekitar 750 orang ulama tersebut,
disepakati lima point penting, yaitu: (1) Pemilihan
umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk
memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat
ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan
aspirasi umat dan kepentingan bangsa. (2) Memilih
pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk me-
negakkan
imâmah
dan
imârah
dalam kehidupan
bersama. (3)
Imâmah
dan
imârah
dalam Islam meng-
hajatkan syarat sesuai dengan ketentuan agama agar
terwujudnya kemaslahatan dalam masyarakat. (4)
Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa,
jujur (
siddîq
), terpercaya (
amânah
), aktif dan aspiratif
(
tablîgh
), mempunyai kemampuan (
fathânah
) dan
mem
per
juangkan kepentingan umat Islam hukumnya
adalah
wajib
. (5) Memilih pemimpin yang tidak me-
menuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam
butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal
ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah
haram.
Fatwa tersebut kemudian diikuti dua rekomendasi,
yaitu: (1) Umat Islam dianjurkan untuk memilih
pemimpin dan wakil-wakilnya untuk mengemban
tugas
amar ma’rûf nahy munkar
. (2) Pemerintah dan
penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi
penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat
dapat meningkat sehingga hak masyarakat terpenuhi.
Setelah keluarnya fatwa MUI tersebut, banyak
tanggapan
pro
dan
kontra
dari pelbagai kalangan. Ada
yang sependapat dengan fatwa MUI itu dengan alasan
agar ada wakil dari umat Islam yang duduk di DPR.
Selain itu, ada pula pendapat yang tidak setuju dengan
fatwa MUI tersebut karena golput berkaitan dengan
hak memilih, bukan wajib memilih. Disamping itu,
dengan keluarnya fatwa tersebut ada yang berpendapat
bahwa MUI membenarkan praktek pemilu sekarang ini
yang menimbulkan banyak kemudaratan. Mekanisme
pemilihan pemimpin sudah menyimpang dari nilai-
nilai syariah, bahkan dengan fatwa tersebut MUI telah
melanggengkan bobroknya sistem politik di Indonesia.
Fatwa tersebut sebenarnya sebagai salah satu upaya
dari MUI agar umat Islam memilih pemimpin yang
memenuhi kriteria
syar’i
, meskipun pelaksanaan pemilu
itu sendiri sudah sangat liberal dan menyimpang dari
ajaran hukum Islam. Oleh karena itu, maka wajar jika
banyak kalangan yang tidak mendukung adanya fatwa
dari MUI tersebut.
Hal ini, meskipun mekanisme dan sistem pe-
laksanaan pemilu yang belum sesuai dengan syariah,
tetapi setidaknya MUI telah memberikan peringatan
kepada umat tentang pentingnya pemilihan umum
untuk memilih perwakilan umat atau penguasa yang
amanah sesuai dengan tuntutan Rasulullah Saw.
Pemilihan umum di Indonesia yang merupakan praktek
ketatanegaraan yang harus diselenggarakan untuk
memilih pemimpin maupun perwakilan rakyat di
lembaga perwakilan telah menimbulkan permasalahan.
Dengan demikian, MUI memberikan jalan keluar
(meskipun banyak juga yang tidak sependapat) agar
umat Islam tidak terjebak dalam permainan politik
yang dilakukan oleh kaum kafir yang tidak suka dengan
Islam yang kemudian merugikan umat Islam.
Apabila mencermati pendapat di atas dengan mem-
perhatikan pelaksanaan pemilu yang diselenggarakan
di Indonesia, tentu dapat dilihat bahwa memilih wakil
rakyat untuk melakukan tugas sesuai syariah dan dalam
praktek ketatanegaraan berfungsi untuk melakukan
check and balance
atau
mu
h
âsabah li al-
h
ukkâm
(mengoreksi penguasa), tentu saja hukumnya boleh.
Hal ini karena pemilih memilih atau memberikan
wakâlah
kepada wakilnya untuk melakukan tugasnya
diperbolehkan, mungkin juga hukumnya menjadi
wajib. Begitu juga wakil rakyat yang dipilih dengan tugas
membuat undang-undang dengan mekanisme yang
dibenarkan dalam syariah, sehingga undang-undang
yang lahir dari parlemen merupakan undang-undang
yang dibenarkan oleh Islam. Mekanisme pembuatan
undang-undang tidak didasarkan pada suara mayoritas,
tetapi didasarkan pada pertimbangan dalil atau karena
perintah wahyu. Berarti di sini suara rakyat bukanlah
suara Tuhan, tetapi suara Tuhan-lah yang mengatur
kehidupan umat manusia (rakyat).
Dalam hal mencermati rancangan undang-undang
pemilihan kepala daerah yang baru saja disahkan oleh
DPR, dengan opsi pemilihan kepada daerah melalui
DPRD, sebenarnya sebagai upaya mengembalikan kembali
proses demokrasi yang tidak individualistis. Pemilihan
kepala daerah melalui DPRD setidaknya sudah mendekati
kepada syariah, karena tidak mengorbankan rakyat banyak
dengan segala kemudaratan yang dapat ditekan sekecil
mungkin. Adapun rakyat yang mempunyai kedaulatan
dapat mewakilkan kepada wakil-wakilnya yang ada di
DPRD untuk mewakili dalam memilih kepada daerah.
Hal ini juga dapat dikatakan demokratis menurut Islam
dan tidak harus melalui rakyat secara langsung.
Penutup
Pemilu yang dipraktekkan di Indonesia, khususnya,
dan di belahan dunia, pada umumnya, merupakan
praktek ketatanegaraan yang harus dilaksanakan,
66
Ahkam:
Vol. XV, No. 1, Januari 2015
yang selain sebagai implementasi kedaulatan rakyat
juga berfungsi untuk memilih wakil-wakil rakyat dan
memilih pemimpinnya. Akan tetapi apabila dikaji
secara mendalam, praktek pemilu menurut hukum
Islam sebenarnya sudah menyimpang dari ketentuan
syariah, meskipun MUI telah mengeluarkan fatwa
wajib hukumnya untuk memilih dan haram hukumnya
apabila tidak memilih (golput).
Dalam pandangan Islam, pemilu adalah salah
satu cara, bukan satu-satunya cara (
uslûb
) yang biasa
digunakan untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin.
Hal ini, meskipun hukum asal pemilu itu sebagai
uslûb
adalah mubah (boleh), tetapi perlu diketahui bahwa
pelaksanaan pemilu harus sesuai dengan ketentuan
syariah. Dalam pemilu legislatif,
uslûb
itu digunakan
untuk memilih wakil rakyat dengan tugas membuat
undang-undang dan harus sesuai dengan ketentuan
syariah, tidak berdasarkan suara mayoritas serta
melakukan
checks and balancies
terhadap kekuasaan
lainnya. Begitu juga dalam pemilihan kepala negara
dan kepala daerah,
uslûb
ini digunakan untuk memilih
orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin.
Dengan demikian, pemilihan umum dalam pandangan
Islam dapat dipergunakan sebagai salah satu cara dalam
kehidupan kenegaraan, apabila negara yang bersangkutan
telah memilih jalan demokrasi sebagai satu-satunya dalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Akan
tetapi, demokrasi yang dimaksudkan adalah demokrasi
yang sesuai dengan ketentuan syariah. []
Pustaka Acuan
A. Hassan,
Al Furqon
(
Tafsir Al Qur’an
), Jakarta: Tinta
Mas, 1962.
Al-Buraey, Muhammad A.,
Islam Landasan Alternatif
Administrasi Pembangunan
, Terjemahan Achmad
Nashir Budiman, Jakarta: Rajawali Press, 1986,
Cetakan Pertama.
Anshârî, al-, ‘Abd al-
H
âmid,
al-‘Âlam al-Islâmî bayna
al-Syûrâ wa al-Dimuqrathiyah
, Cairo, Dâr al-Fikr al-
Islam, 1922 H, Cetakan ke-1.
Asad, Muhammad, “Pemerintahan Islam dan Asas-
Asasnya”, dalam Salim Azzam (Editor),
Beberapa
Pandangan Tentang Pemerintahan Islam
, terjemahan
Malikul Awwal dan Abu Jalil, Bandung: Mizan, 1983,
Cetakan pertama.
Asshiddiqie, Jimly, “Bung Hatta: Bapak Kedaulatan
Rakyat”, dalam
Bung Hatta Bapak Kedaulatan
Rakyat
, Editor: Sri Edi Swasono, Jakarta: Yayasan
Bung Hatta, 2002.
Asshiddiqie, Jimly,
Islam dan Kedaulatan Rakyat
,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995, Cet. Pertama.
Azzam, Salim,
Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan
Islam
, Bandung: Mizan, 1983.
Bayâtî, al-, Munîr,
al-Nizhâm al-Siyâsî al-Islâmî
.
Baz, al-, Dâwud,
Al-Syûrâ wa al-Dimuqrathiyyah al-
Niyâbiyyah
, Iskandariyah: Dâr al-Fikr al-Jâmi’î,
2004.
Dabbûs, Shalâ
h
al-Dîn,
Al-Khalîfah Tawliyatuh wa
‘Azluh
, Iskandariyah: Muassasah al-Tsaqâfiyyah al-
Jâmi’iyyah, t.t.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia,
Kamus Besar Bahasa Indonesia
, Jakarta:
Balai Pustaka, 1991.
Hatta, Mohammad,
Demokrasi Kita
, Jakarta:Ghalia
Indonesia, 1977.
Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah
dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia,
Al Qur’an
dan Terjemahannya
, Medina Al-Munawwarah:
Percetakan Raja Fahd, 1418.
Mas’udi, Masdar Farid,
Syarah Konstitusi UUD 1945
dalam Perspektif Islam
, Jakarta: Alvabet, 2010.
Mufti, Mu
h
ammad A
h
mad,
Mafâhîm Siyâsah
Syar’iyyah
, Amman: Dâr al-Basyîr, 1418 H.
Samuddin, Rapung,
Fiqih Demokrasi, Menguak
Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat
Pemilu dan Politik
, Jakarta: Gozian Press, 2013.
Singodimedjo, Kasman,
Masalah Kedaulatan
, Jakarta:
Bulan Bintang, 1978.
Sjadzali, Munawir,
Islam dan Tata Negara, Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran
, Jakarta: UI Press, 1993.
Thabarî, al-, Abû Ja’far,
Târîkh al-Thabarî,
Beirut: Dâr
al-Fikr, 1997.
Zaydan, ‘Abd al-Karîm,
Makalah al-Dimuqratiyah wa
Musyârakah al-Muslim fî al-Intikhâbât, Majallah
al-Majma’ al-Fiqh al-Islâmî
, Râbithah al-‘Âlam al-
Islâmî, Edisi X, 1426 H.
Bulan Bintang, 1978.
Sjadzali, Munawir,
Islam dan Tata Negara, Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran
, Jakarta: UI Press, 1993.
Thabarî, al-, Abû Ja’far,
Târîkh al-Thabarî,
Beirut: Dâr
al-Fikr, 1997.
Zaydan, ‘Abd al-Karîm,
Makalah al-Dimuqratiyah wa
Musyârakah al-Muslim fî al-Intikhâbât, Majallah
al-Majma’ al-Fiqh al-Islâmî
, Râbithah al-‘Âlam al-
Islâmî, Edisi X, 1426 H.