Hukum Pemilu Menurut Syariat Islam

Abstract.
General Election in Islamic Law. This article discuss the implementating general election in Islamic law, both the legislative elections, elections of regional heads and presidential elections. Indonesian elections in accordance with the mechanism of the western democracies, so that the election is the only way in choosing representatives and leaders. In the Islamic view of the elections is not the only way but one of the ways to choose a government or leader. Elections according to the Islamic view of the law may permissible, but must be in accordance with the implementation of sharia, not using a mechanical cause many western democracies not helpful.

Abstract: general election, Islamic law, democracy

Abstrak. Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam. Tulisan ini menjelaskan tentang pelaksanaan pemilihan umum menurut  hukum  Islam,  baik  pemilu  legislatif,  kepala  daerah  maupun  presiden. Pelaksanaan pemilu  di  Indonesia sesuai dengan mekanisme demokrasi Barat sehingga pemilu merupakan satu-satunya cara dalam memilih wakil rakyatmaupun pemimpin. Dalam pandangan Islam, pemilu bukan merupakan satu-satunya cara tetapi salah satu cara yang dilakukan  untuk  memilih  wakil  rakyat  atau  pemimpin. Pemilu  menurut  pandangan  Islam  hukumnya  boleh  atau mubah, tetapi pelaksanaannya harus sesuai ketentuan syariah, tidak menggunakan mekanisme demokrasi Barat yangbanyak menimbulkan kemudaratan.

Pendahuluan

Pemilihan  umum,  yang  kemudian  dikenal  dengan pemilu, dalam demokrasi  Barat merupakan salah satu implementasi  dari  kedaulatan  rakyat,  sehingga  apa pun alasannya agar  hak-hak  rakyat  dapat  disalurkan maka  pemilulah  yang  harus  diselenggarakan. Hiruk pikuk penyelenggaraan pemilu di Indonesia, baik pemilu  kepala  daerah,  legislatif  maupun  presiden  dan wakil   presiden, dilaksanakan dalam  rangka untuk memenuhi  kedaulatan  rakyat  yang  merupakan suatu praktek ketatanegaraan  untuk  mengisi  jabatan publik. 

Perdebatan  panjang  mengenai  RUU  pemilihan  kepala daerah  yang  kemudian  hasil  sidang  paripurna  DPR mengesahkan pemilihan kepada daerah melalui DPRD juga  merupakan  alasan  dalam  rangka  untuk  meng-implementasikan  kedaulatan  rakyat  yang  dimaksud. Oleh  karena  pelaksanaan  pemilu  tersebut  merupakan  amanat  yang  dikandung  dalam  Undang-Undang Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945,  maka pemilu  yang  merupakan  praktek  ketatanegaraan  yang harus  dilaksanakan.  Pemilu  selain  implementasi  dari kedaulatan  rakyat,  juga  pemilu  dilaksanakan  sebagai pemenuhan  hak-hak  asasi  manusia,  juga  pemilu  dilaksanakan  sebagai  penggantian  pejabat  negara  secara teratur.  Akan  tetapi, setiap  pemilu  yang  diselenggarakan selalu menimbulkan masalah, dan terjadi sengketa antara  peserta  pemilu  maupun  dengan  penyelenggara pemilu.

Pemilu  yang  diselenggarakan  membutuhkan biaya yang sangat mahal, baik biaya sosial maupun dana yang berasal dari anggaran negara/daerah. Konflik yang terjadi  setelah  pemilu  dilaksanakan,  karena  ada  pihak yang  merasa  tidak  puas  dengan  hasil  yang  diperoleh. Wakil-wakil  rakyat  yang  terpilih  juga  belum  tentu menghasilkan  wakil  yang  membawa  amanah,  justru wakil  yang  dipilih  adalah  para  koruptor,  baik  anggota legislatif maupun kepala daerah. Apabila melihat realita demikian, maka pemilu yang dilaksanakan di Indonesia banyak menimbulkan mudarat daripada manfaat yang diperoleh. 

Mayoritas  penduduk  Indonesia  beragama  Islam dan agama Islam harus menjadi bagian dalam kehidupannya, termasuk  di dalamnya  adalah  bagaimana  cara  memilih pemimpin.  Agama  Islam (termasuk hukumnya)  tidak memberikan  batasan  untuk  memilih  metode  tertentu dalam  memilih  wakil rakyat  atau  pemimpinnya.  Hal ini  dikarena  dalam  Islam  (Hukum  Islam)  mempunyai tujuan yang agung yaitu agar tidak ada kesulitan (haraj) bagi  kaum  muslimin. Dengan demikian, umat dapat memilih pemimpinnya  (wakil  rakyat,  kepala  daerah maupun  presiden)  mereka  berdasarkan metode yang sejalan dengan  tuntutan  zaman,  tempat  dan  waktu selama tidak keluar dari batas syariat.

Sebenarnya  terjadi  perbedaan  pendapat  di  antara ulama atau fukaha dalam hal praktek pemilu, khususnya yang dipraktekkan di Indonesia maupun di dunia lain. Ada yang menyatakan bahwa pemilu adalah salah satu, bukan  satu-satunya  cara  (uslûb),  yang  bisa  digunakan untuk memilih para wakil rakyat yang duduk di majelis perwakilan atau untuk memilih penguasa. Sebagai salah satu  cara,  dalam  pandangan  Islam,  tentu  saja  pemilu ini  tidak  wajib

1.  Menurut  pendapat  ini  tentu  saja perlu dicari cara lain yang sesuai dengan syariat. Islam memberikan alternatif  dalam  pemilihan  wakil  rakyat yang akan duduk di majelis perwakilan maupun memilih penguasa untuk  memimpin  rakyatnya.  Syariat  tidak menentukan  sistem  apa  yang  digunakan,  tetapi  Islam memberikan  pedoman  dalam  kehidupan  bernegara. Agama  Islam  itu  nasihat  sebagaimana  Rasulullah Saw bersabda: “Agama itu nasihat. “Kami bertanya: “Untuk siapa  ya  Rasulullah?”  Beliau menjawab:  “Untuk  Allah, Kitab-Nya,  Rasul-Nya,  para  pemimpin  kaum  muslimin dan  mereka semuanya  (kaum  muslim) ”.  (HR  Muslim dari Tamîm al-Dârî).
Hadits  tersebut  menunjukkan  agar  umat  dalam setiap  perbuatannya  dapat  dipertanggungjawabkan  dihadapan  Allah  Swt.,  termasuk  dalam  melaksanakan pemilu. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran: Dan  sesungguhnya  Kami  telah  menciptakan  manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Kami lebih  dekat  kepadanya  daripada  urat  lehernya. (yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, yang satu  duduk  di  sebelah  kanan  dan  yang  lain  duduk  di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan   ada   didekatnya   malaikat   pengawas   yang  selalu hadir. (QS. Qâf [50]: 16-18).
Allah Swt. telah menurunkan syariat untuk mengatur kehidupan  umat  manusia  (rakyat),  sehingga  diterima 
atau tidaknya pertanggungjawaban tersebut ditentukan dengan  syariat.  Apabila  sesuai  dengan  syariat,  maka akan  diterima,  sebaliknya  apabila  tidak  sesuai  maka akan  ditolak,  sebagaimana  Sabda  Nabi  SAW.  ''bahwa siapa  saja  yang  melakukan  amal  perbuatan  yang  tidak sesuai dengan tuntutan syariat maka perbuatan itu akan tertolak.'' (H.r. Muslim).

Begitu juga dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia, harus dilihat apakah sudah sesuaidengan syariat atau belum. Hakikat Kedaulatan Rakyat Berbicara kedaulatan rakyat berarti membicarakan  tentang kekuasaan yang tertinggi ada pada rakyat sebagaimana dikemukakan diatas. Untuk  mengimplementasikan kedaulatan  rakyat  maka  harus  dilaksanakan  dengan  pemilihan. Pemilihan semacam  ini sebagai wujud dari demokrasi perwakilan yang dikenal selama  ini,  karena  tidak mungkin  semua  rakyat  dapat memimpin sehingga perlunya perwakilan umat/rakyat sebagai aspirasi rakyat. Kata  ”kedaulatan”  berasal  dari  bahasa  Arab, yaitu dawlah atau dûlah, dalam kamus al-Zurjawî dikatakan bahwa secara harfiah dûlah atau dawlah berarti ”putaran  atau  giliran”.

2. Kata dawlah  memiliki dua bentuk yaitu Pertama, dûlatan  yang  berarti  beredar. Istilah   ini  dihubungkan dengan   adanya   larangan peredaran kekayaan hanya di antara orang kaya. Kedua, nudâwiluhâ  yang  berarti  mempergantikan.  Istilah  ini berkaitan  dengan  adanya  penegasan  bahwa  kekuasaan merupakan  sesuatu yang  harus  digilirkan  di  antara umat
3. Menurut sejarah peradaban Islam, kata dawlah dipergunakan untuk menunjuk pada pengertian rezim kekuasaan, seperti Daulah Bani Umayyah dan Daulah Bani ’Abbasiyyah

4. Masdar Farid Mas’udi menyatakan: Kedaulatan sebagai konsep kekuasaan (sovereignty) untuk mengatur kehidupan  ada  yang  bersifat  terbatas (muqayyad),  relatif  (nisbî)  dan  ada  yang  tidak terbatas (ghayr muqayaad)  atau  mutlak  (absolut).  Kedaulatan absolut  adalah  kedaulatan  atas  semua kedaulatan  yang tidak  dibatasi  oleh  kedaulatan  pihak  lain.  Kedaulatan absolut  hanya  milik  Allah Swt., untuk  mengatur alam semesta   melalui   hukum alam-Nya dan mengatur kehidupan manusia melalui sinyal-sinyal hukum moral yang  diilhamkan  kepada  setiap  nurani  (qalb)  manusia atau  diwahyukan melalui  para  nabi  dan rasul-Nya, sedangkan  dalam  negara  sebagai  bangunan  sosial  dan proyek  peradaban  yang  direkayasa oleh  manusia  dalam wilayah  tertentu  yang  berdaulat  adalah  manusia  secara kolektif sebagai khalifah-Nya

5. Makna     kedaulatan     dapat     ditemukan     dalam  Alquran  antara  lain  Q.s.  Âli  ’Imrân  [3]:  26 yang  artinya   ”Katakanlah:   Wahai   Tuhan   Yang   mempunyai  2  Masdar  Farid  Mas’udi, Syarah Konstitusi  UUD  1945  dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Alvabet, 2010), h. 46.3  Jimly  Asshiddiqie, “Bung  Hatta:  Bapak  Kedaulatan  Rakyat”, dalamBung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat, Editor: Sri Edi Swasono,(Jakarta: Yayasan Bung Hatta, 2002), h. 87. 4 Jimly Asshiddiqie, Islam dan Kedaulatan Rakyat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. Pertama, h. 87.5 Masdar Farid Mas’udi,Syarah Konstitusi UUD 1945 , h. 47.61 Sodikin: Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam kerajaan...”

6.  Dalam  tafsir  dan  kajian  yang  lain  terhadap  ayat  tersebut  ada  pula  yang  menerjemahkan sebagai ”Katakanlah Hai Tuhan Yang memiliki (sekalian) Kekuasaan,...”

7.  Ada  juga  yang  mengartikan  ”Ia,  Allah Tuhan yang berdaulat...”

8. Selanjutnya   kata   ”rakyat”   diartikan   dengan   segenap   penduduk   suatu   negara   (sebagai  imbangan pemerintahan)

9. Dalam bahasa Inggris diartikan dengan people,  sedangkan  dalam  bahasa  Arab  dijumpai  kata ra’iyyah yang   mengacu   pada   pengertian   masyarakat  (rakyat).  Pada  dasarnya  setiap  negara  akhirnya  akan berbicara   tentang   rakyat,   dan   rakyat   pada   suatu  negara   adalah   pemegang   kekuasaan,   artinya rakyat  menjadi  sumber  kekuasaan  dalam  arti  relatif.  Moh. Hatta   menyatakan   bahwa   kedaulatan rakyat   berarti  pemerintahan rayat yang dilakukan oleh para pemimpin yang   dipercaya   oleh   rakyat. Dengan   sendirinya   di kemudian  hari  pimpinan  pemerintahan  di  pusat  dan daerah jatuh ke tangan pemimpin-pemimpin rakyat

10. Pemahaman   tentang   rakyat   dalam   kedaulatan  rakyat berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat dan menempatkan  kekuasaan  tertinggi  ada  pada  rakyat. Ajaran  kedaulatan  rakyat  sebagai  ajaran yang terakhir dipraktekkan pada negara-negara modern mendapatkan tempat yang baik,  karena ajaran kedaulatan  rakyat dapat dianggap sebagai ajaran yang terbaik selain ajaran kedaulatan yang lainnya. Oleh karena rakyat berdaulat atau   berkuasa, maka segala   aturan dan kekuasaan yang  dijalankan  oleh negara  tidak  boleh  bertentangan dengan kehendak  rakyat. Menurut ajaran  ini,  rakyat berdaulat dan berkuasa untuk menentukan bagaimana rakyat diperintah dalam rangka mencapai tujuan negara. Ajaran ini dipraktekkan  pada  negara-negara Barat yang bersifat individualistis karena menempatkan rakyat sebagai  sesuatu  yang  tinggi,  sehingga  menurut mereka  suara  rakyat  adalah  suara  Tuhan.  Akan  tetapi dalam ajaran Islam bukan berarti rakyat yang berkuasa, tetapi ada hak Allah yang harus didahulukan, sehingga setiap peraturan  perundang-undangan atau hukum harus sesuai syariat. Seorang tokoh dan intelektual muslim, yaitu Kasman Singodimedjo menyatakan bahwa:
6
  Kementerian  Urusan  Agama  Islam,  Wakaf,  Da’wah  dan  Irsyad 
Kerajaan  Saudi  Arabia, 
Al  Qur’an  dan  Terjemahannya
,  (Medina  Al-
Munawwarah: Percetakan Raja Fahd, 1418), h. 79.
7
  A.  Hassan, 
Al  Furqon
  (
Tafsir  Al  Qur’an
),  (Jakarta:  Tinta  Mas, 
1962), h. 103.
8
  Salim  Azzam, 
Beberapa  Pandangan  Tentang  Pemerintahan  Islam
,
(Bandung: Mizan, 1983), h. 80.
9
  Departemen  Pendidikan  dan  Kebudayaan  Republik  Indonesia, 
Kamus Besar Bahasa Indonesia
, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991) h. 722.
10
  Mohammad  Hatta, 
Demokrasi  Kita
,  (Jakarta:Ghalia  Indonesia, 
1977), h. 89.
Karena  rakyat  atau  umat  itu  selalu  terdiri  atas  mausia-
manusia, dan karena manusia itu sebagai makhluk selalui
daif  atau  lemah  (Allah  menyatakan  di  dalam  Alquran 
insân  dha’îf
  yang  artinya  manusia  itu  lemah),  maka 
tentunya  semua  hasil  atau  produk  daripada  kedaulatan 
rakyat/umat   itu   selalu   pula   tidak   dapat   dijamin  
kebenarannya  setiap  waktu.  Apalagi  apabila  ada  ekses-
ekses  atau 
overacting
  yang  lucu-lucu,  sehingga  dengan 
begitu  tidak  pula  dapat  dikatakan,  bahwa  kedaulatan 
rakyat  itu  selalu  mengandung  kekuasaan  yang  mutlak/
absolut benar. Dan karena yang mutlak benar itu adalah
Allah, maka kedaulatan rakyat/umat itu, jika mau benar
dan  baik  haruslah  disesuaikan  dan  diarahkan  kepada 
isi,  maksud  dan  tujuan  dari  kedaulatan  Allah,  yang 
berkekuasaan penuh sepenuh-penuhnya atau mutlak).
11
Menurut   ajaran   Islam,   sebagaimana   dikemuka-
kan  oleh  Kasman  Singodimedjo,  bahwa  Allah  Yang 
menciptakan  dan  Tuhan  seru  sekalian  alam  seisinya 
itu  sungguh-sungguh  mentolerir/mengizinkan  adanya 
kedaulatan   rakyat,   adanya   kedaulatan   negara   dan  
adanya kedaulatan hukum, yang tentunya di dalam arti
terbatas,  yaitu  di  dalam  batas-batas  keizinan  Allah
12
.
Ekspresi  berdaulatnya  Allah  tercermin  dalam  Q.s.  al-
A
h
zâb [33]: 36 yang dapat diartikan bahwa jika Allah
dan  Rasul  telah  menetapkan  suatu  perkara  (hukum), 
maka  seorang  mukmin  atau  mukminat  tidak  boleh 
menetapkan   ketentuan   lain   menurut   keinginannya  
sendiri. Pendapat Kasman Singodimedjo yang tercermin
dalam  Q.s.  al-A
h
zâb  [33]:  36  tersebut  menunjukkan 
bahwa  meskipun  kedaulatan  yang  berarti  rakyat  yang 
berdaulat dalam arti rakyat yang mempunyai kekuasaan,
tetapi  masih  ada  yang  lebih  berdaulat  atau  berkuasa 
yaitu  Allah  Swt.  Di  sini  suara  rakyat  bukanlah  suara 
Tuhan, karena rakyat dapat saja melakukan perbuatan
yang tidak sesuai dengan syariat.
Dengan  demikian,  dalam  Islam  kekuasaan  politik 
hanya  memiliki  wewenang  hukum  untuk  mem 
buat 
produk  hukum  sebagai  upaya  menjalankan  syariat. 
Persoalan  kemudian  adalah  bagaimana  Allah  meng-
ekspresikan  kedaulatan-Nya  di  dunia  nyata.  Alquran 
menegaskan  bahwa  manusia  di  bumi  adalah 
khilâfah
(pengganti)  Allah  dengan  tugas  memakmurkan  bumi 
dan  kekuasaan  yang  dimiliki  adalah  amanah.  Oleh 
karena itu dalam Islam, kedaulatan Tuhan merupakan
sumber dari segala kedaulatan.
Dalam  pandangan  Islam,  kekuasaan  yang  dimiliki 
umat  Islam  bukanlah  hak  bawaan  mereka  sendiri, 
melainkan    amanat    dari    Allah.
13
    Demikian    juga   
11
  Kasman  Singodimedjo, 
Masalah  Kedaulatan
,  (Jakarta:  Bulan 
Bintang, 1978), h. 40.
12
 Kasman Singodimedjo,
Masalah Kedaulatan
, h. 24.
13
  Muhammad  Asad,  “Pemerintahan  Islam  dan  Asas-Asasnya”, 
dalam Salim Azzam (Editor),
Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan
Islam
,  terjemahan  Malikul  Awwal  dan  Abu  Jalil,  (Bandung:  Mizan, 
1983), Cetakan pertama, h. 80-81.
62
Ahkam:
Vol. XV, No. 1, Januari 2015
Muhammad A. Al-Buraey menyatakan bahwa:
Pemerintahan  dan  penguasa  hanya  untuk  Allah  dan 
harus sesuai dengan syariat, tidak ada seorang pun atau
kelompok yang memiliki hak untuk mengingkari Tuhan,
kedaulatan  hanya  untuk  Allah  semata,  legislasi  juga 
hanya untuk Allah, sehingga pemerintahan negara Islam
memperoleh keabsahannya hanya dengan melaksanakan
hukum-hukum Allah atau syariah-Nya.
14
Beberapa  ayat  Alquran  yang  menjadi  dalil  dan 
landasan  bahwa  kedaulatan  rakyat  bersumber  pada 
hukum  Allah  adalah  Q.s.  Fâthir  [35]:  16-17,  Q.s.  al-
Ma’ârij [70]: 40-41 dan Q.s. al-Furqôn [25]: 36-39
Dengan    demikian,    dipertegas    oleh    Kasman   
Singodimedjo bahwa:
Mengenai  kedaulatan  rakyat  atau  kedaulatan  ummat, 
maka  sesungguhnya  rakyat  atau  umat  itu  tidak  dapat 
dikatakan  berdaulat  di  dalam  arti  berkuasa  penuh, 
karena rakyat/ummat itu tetap saja terdiri atas manusia-
manusia yang sifatnya daif atau lemah sebagai makhluk.
15
Oleh karena rakyat atau umat tidak dapat berkuasa
sepenuhnya  dan  mereka  merasa  perlu  untuk  memilih 
pemimpin   di   antara   mereka   secara   bersama   yang  
kemudian diwakilkan kepada para wakilnya yang akan
duduk  di  pemerintahan,  baik  di  legislatif  maupun 
di    eksekutif.    Wakil-wakil    rakyat    tersebut    harus   
menyalurkan aspirasi rakyat, aspirasi rakyat yang tentu
yang  sesuai  dengan  syariat,  yang  berarti  pemimpin 
itu  telah  sungguh-sungguh  hanya  bertugas  atas  nama 
rakyat/umat yang sejalan dengan kehendak Tuhan.
Dengan   demikian,   dikenallah   pemilihan   untuk  
memilih  wakil-wakil  rakyat/umat  di  antara  mereka. 
Maka  di  dalam  sejarah  kebudayaan  Islam  sebenarnya 
sudah  mengenal  metode  atau  cara  untuk  memilih 
pemimpin  umat,  yang  berbeda  dengan  metode  yang 
sekarang   dikenal   yaitu   pemilihan   umum   sebagai  
implementasi kedaulatan yang dimaksud menurut versi
demokrasi Barat.
Sejarah Pemilu dalam Peradaban Islam
Pemilu dalam sejarah peradaban Islam ditemukan dari
peristiwa yang mengarah pada bentuk sebuah pemilu yang
kemudian  dijadikan  landasan  oleh  para  ulama  sekarang 
untuk  membenarkan  pemilu  yang  saat  ini  dipraktekkan. 
Misalnya Baiat
al-Nuqabâ
’ (wakil-wakil suku), yaitu ketika
kaum  Anshar  membaiat  Nabi  Saw.  di  ‘Aqabah.  Saat  itu, 
Nabi  Saw.  bersabda  bahwa  pilihlah  untukku  dari  kalian 
dua belas orang wakil yang akan menunaikan apa-apa yang
14
 Muhammad A. Al-Buraey,
Islam Landasan Alternatif Administrasi
Pembangunan
,   Terjemahan   Achmad   Nashir   Budiman,   (Jakarta:  
Rajawali Press, 1986), Cetakan Pertama, h. 157.
15
 Kasman Singodimedjo,
Masalah Kedaulatan
,, h. 54.
dibutuhkan oleh kaum mereka.
16
 Selanjutnya dalam kisah
utusan  Hawzan,  bahwa  utusan  Hawzan  datang  kepada 
Rasulullah  Saw.  dalam  keadaan  Muslim  dan  memberi 
baiat. Ia memohon kepada Nabi Saw. agar mengembalikan
harta  mereka  (yang  dirampas  karena  perang).  Nabi  pun 
minta  persetujuannya  (kaum  muslimin)  tentang  hal  itu 
dan  mereka  memberikan  isyarat  keridaan.  Akan  tetapi 
Nabi tidak cukup dengan persetujuannya saja, selanjutnya
Nabi bersabda bahwa Kami tidak mengetahui siapa yang
mengizinkan kalian tentang demikian dan siapa yang tidak
mengizinkan.  Pulanglah,  hingga  masalah  ini  diangkat 
(diadukan) kepada kami oleh wakil yang kalian tunjuk.
17
Dua  riwayat  tersebut  dijadikan  alasan  atau  dasar 
oleh para ulama sekarang terhadap persoalan pemilihan
umum,  karena  kedua  riwayat  tersebut  mempunyai 
makna  mengenai  persoalan  kedaulatan  rakyat,  yaitu 
rakyat  memberikan  pilihannya  kepada  mereka  yang 
mewakilinya.
Begitu  juga  periode  sesudah  Nabi  Saw.,  yaitu  pada 
masa
al-Khulafâ’ al-Râsyidûn
. Pemilihan
al-Khulafâ’ al-
Râsyidûn
 berbeda dengan metode pemilu yang dikenal
sekarang. Pemilihan umum yang dikenal pada masa
al-
Khulafâ’ al-Râsyidûn
 dapat ditemui janji setia (baiat) dari
masing-masing khalifah yang terpilih. Janji setia (baiat)
dilaksanakan  di  masjid  kemudian  rakyat  memberikan 
baiat kepada khalifah, sehingga di sini ada keterlibatan
dan peran rakyat dalam baiat khalifah.
Pada  saat  pemilihan  Abû  Bakr  yang  dilakukan  di 
balai pertemuan Bani Saidah oleh kelompok kecil yang
terdiri  atas  lima  orang  selain  Abû  Bakr,  yaitu  ‘Umar 
ibn  al-Khaththâb,  Abû  Ubaydah  ibn  Jara
h
,  Basyîr  ibn 
Sa’ad, Asid ibn Khudayr dan Sâlim, seorang budak Abû
Khudzayfah  yang  telah  dimerdekakan.
18
  Kelima  orang 
itu  merupakan  perwakilan  dari  kelompok  Muhajirin 
(suku    Quraisy)    dan    kelompok    Anshar    masing-
masing  dari  unsur  Khazraj  dan  Aus.  Hal  ini  berbeda 
dengan  ‘Umar  ibn  al-Khaththâb  yang  terpilih  tidak 
melalui  proses  pemilihan  sebagaimana  Khalifah  Abû 
Bakr.  Meskipun  demikian,  ‘Umar  ibn  al-Khaththâb 
menyatakan  ketika  sampai  kepadanya  berita  bahwa 
orang-orang berkata bahwa jika ‘Umar meninggal dunia
mereka  akan  memberikan  baiat  pada  si  Fulan.  Beliau 
juga  melarang  bahwa  barangsiapa  membaiat  seorang 
pemimpin tanpa proses musyawarah, baiatnya dianggap
tidak  sah,  dan  tidak  ada  baiat  terhadap  orang  yang 
mengangkat  baiat  terhadapnya  atau  keduanya  harus 
16
   Dikutip   ulang   oleh   Rapung   Samuddin,  
Fiqih   Demokrasi,  
Menguak  Kekeliruan  Pandangan  Haramnya  Umat  Terlibat  Pemilu  dan 
Politik
, (Jakarta: Gozian Press, 2013), Cetakan Pertama, h. 304-305.
17
 Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
h. 304-305.
18
  Munawir  Sjadzali, 
Islam  dan  Tata  Negara,  Ajaran,  Sejarah  dan 
Pemikiran
, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 23.
63
Sodikin:
Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam
dibunuh.
19
  Riwayat  ini  adalah  bentuk  dari  pemilihan 
umum  yang  dikenal  pada  saat  itu  melalui  mekanisme 
musyawarah dengan rakyat dan mengembalikan urusan
pemilihan pemimpin kepada rakyat (kaum muslimin).
Riwayat selanjutnya adalah perbuatan ‘Abd al-Ra
h
mân
ibn  ‘Awf  ketika  bermusyawarah  dan  meminta  pendapat 
rakyat   untuk   menetapkan   siapa   yang   laik   menjadi  
seorang  khalifah  setelah  ‘Umar  ibn  al-Khaththâb  wafat. 
Diwirayatkan  bahwa  ‘Abd  al-Ra
h
mân  ibn  ‘Awf  selama 
tiga hari bermusyawarah dan meminta pandangan rakyat
hingga mantap pilihan jatuh pada ‘Ustmân ibn ‘Affân. Saat
itu  beliau  berkata  bahwa  beliau  melihat  pilihan  manusia 
tidak  bergeser  pada  Utsmân.
20
  Riwayat  ‘Abd  al-Ra
h
mân
ibn  ‘Awf  ini  menunjukkan  peran  dan  keterlibatan  rakyat 
dalam  pemilihan  khalifah.  Begitu  juga  dalam  pemilihan 
‘Alî  ibn  Abî  Thâlib,  dipilih  melalui  pemilihan,  meskipun 
banyak yang menentangnya. Pada saat ‘Alî ibn Abî Thâlib
terpilih,  ‘Alî  ibn  Abî  Thâlib  menolak  jika  baiatnya  hanya 
sebagai  baiat  khusus  dari 
ahl  al-
h
all  wa  al-‘aqdi
.  ‘Alî  ibn 
Abî Thâlib kemudian berdiri di dalam masjid dan rakyat
berbondong-bondong memberikan baiat kepada beliau.
21
Bentuk demikian merupakan bentuk pemilu karena ada-
nya  keterlibatan  dan  peran  rakyat  dalam  menyukseskan 
baiat seorang pemimpin (khalifah).
Dengan  demikian,  pemilu  dalam  Islam  dapat  di-
gambarkan yaitu: (1) Kandungan proses pemilu berupa
keharusan  tegaknya  baiat  atas  pilihan  dan  rida  rakyat, 
merupakan perkara yang tercakup dalam syariat. Baiat
dalam  Islam  tidak  terjadi  melainkan  atas  asas  pilihan, 
maka  baiat  yang  terjadi  pada  seluruh 
al-Khulafâ’  al- 
Râsyidûn
, yang tegaknya berdasarkan rida dan pilihan.
(2)  Menyerahkan  urusan  baiat  dan  ketaatan  kepada 
rakyat  merupakan  perkara  yang  diakui  oleh  syariat. 
Wajib bagi seluruh rakyat memberi baiat kepada imam
(kepala negara) mereka. Karena baiat kemudian terikat
oleh hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban.
22
Terdapat  perbedaan  antara  pemilu  yang  terjadi  di 
Indonesia saat ini dengan apa yang terjadi dalam Islam
sebagaimana  diriwayatkan  di  atas.  Perbedaan  tersebut 
adalah:   (1)Menyerahkan   urusan   pemilihan   kepala  
negara   kepada   seluruh   rakyat,   serta   membatasinya  
pada  orang  yang  mereka  (rakyat)  kehendaki.  Hal  ini 
tentunya  tidak  terdapat  dalam  Islam.  Dalam  sejarah 
Islam,  pemilihan  khalifah  yang  dilakukan  oleh 
ahl  al-
19
 Hadis riwayat al-Bukhârî,
Sha
h
î
h
 al-Bukhârî, Bâb Rajm al-
H
ublâ
fî al-Zinâ Idzâ Ahshanat
, No. 6830, sebagaimana dikutip oleh Rapung
Samuddin,
Fiqih Demokrasi, Menguak Kekeliruan Panangan Haramnya
Umat Terlibat Pemilu dan Politik
, (Jakarta: Gozian Press, 2013), h. 306.
20
 Hadis riwayat al-Bukhârî,
Sha
h
î
h
 al-Bukhârî,
, No. 6781.
21
  Abû  Ja’far  al-Thabarî, 
Târîkh  al-Thabarî, 
(Beirut:  Dâr  al-Fikr, 
1997), h. 75.
22
 Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
 h. 308 – 309.
h
all  wa  al-‘aqdi
,  kemudian  diikuti  oleh  baiat  seluruh 
rakyat,  sebagaimana  terjadi  pada  masa  Abû  Bakr  atau 
keterlibatan   manusia   dalam   baiat   khalifah   secara  
langsung tanpa ada pilihan dan pembatasan bagi mereka
sebagaimana terjadi pada baiat ‘Alî ibn Abî Thâlib. (2)
Pemberian  kepada  setiap  orang  satu  hak  suara  yang 
sifatnya terbatas, sebab dari perhitungan suara tersebut
keluar siapa yang akan menjadi pemimpin berdasarkan
suara mayoritas. Metode ini juga tidak terdapat dalam
sejarah  Islam.  Baiat  yang  sifatnya  umum  terselenggara 
berdasarkan rida manusia dan kesediaan mereka mem-
berikan  baiatnya.  Adapun  baiat  yang  sifatnya  khusus 
dari
ahl  al-
h
all  wa  al-‘aqdi
  terselenggara  setelah  me-
lalui   proses   musyawarah   dan   pertimbangan   tanpa  
mem 
perhatikan  perhitungan  suara  seperti  pemilu  hari 
ini.  Kendati  para  fukaha  menyatakan  bahwa  yang  di-
kedepankan  adalah  pendapat  mayoritas  dan  bukan 
selainnya,  namun  hal  ini  pun  terbatas  pada  pendapat 
dan  pandangan 
ahl  al-
h
all  wa  al-‘aqdi
  dan  bukan 
pandangan  umum  sebagaimana  terjadi  hari  ini.  (3) 
Adanya  calon-calon  lain  yang  ikut  bertarung  untuk 
mendapatkan  pilihan  dan  baiat  dari  rakyat.  Padahal 
persoalan  menyerahkan  baiat  kepada  rakyat  dalam 
sejarah  Islam  bukan  untuk  tujuan  membedakan  dan 
memilih calon-calon yang bertarung, akan tetapi untuk
memberi  baiat  kepada  khalifah  yang  dipilih  oleh 
ahl
al-
h
all  wa  al-‘aqdi
  atau  ikut  serta  (bersama 
ahl  al-
h
all
wa al-‘aqdi
) dalam memberikan baiat kepada seseorang
tertentu.
23
Perbedaan Sikap Ulama
Sikap  para  ulama  terhadap  pemilu  terbagi  menjadi 
dua   kelompok   dengan   pandangan   yang   berbeda.  
Kelompok pertama, yaitu yang mengharamkan pemilu
sebagai  
mana   dipraktekkan   sekarang   ini.   Menurut  
kelompok  ini,  pemilu  sekarang  sudah  tidak  sesuai 
dengan   syariah.   Karena   pemilu   hukumnya   tidak  
boleh   atau   haram,   maka   tidak   boleh   menempuh  
atau  mempraktekkan  metode  pemilu  dalam  bentuk 
seperti   yang   dipraktekkan   hari   ini
24
.   Pendapat   ini  
dikemukakan  oleh  Mu
h
ammad  ‘Abd  Allâh  al-Imâm, 
Ma
h
mûd  Syâkir, 
H
âfizh  Anwâr,  al-Amîn  al-
H
ajj  dan 
Mu
h
ammad   ibn   Sa’ad   al-Ghâmidî.   Ada   beberapa  
alasan bagi
kelompok ini untuk mengharamkan pemilu
sebagaimana   dipraktekkan   sekarang   ini   (khususnya  
di  Indonesia),  seperti:  (1)  Pemilu  yang  dipraktekkan 
sekarang  ini  tidak 
dikenal  dalam  Islam  karena  tidak 
ada  dalil-dalilnya.  (2)  Pemilu 
yang  diselenggarakan 
menimbulkan kerusakan, tidak ada ketakwaan terhadap
23
 Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
 h. 309 – 310.
24
 Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
 h. 311.
64
Ahkam:
Vol. XV, No. 1, Januari 2015
Allah Swt.,
penggunaan dana yang besar (pemborosan),
sikap  fanatik  terhadap  kelompoknya  sendiri, 
jual  beli 
suara  dan  mengelabui  pemilih  sehingga  pelaksanaan 
pemilu  banyak 
menimbulkan  kemudaratan  daripada 
manfaat.  (3)  Sistem  pemilu  legislatif  dengan  suara 
mayoritas  tidak  dikenal  dalam  Islam  karena  dalam 
Islam  yang  menjadi 
ukuran  adalah  sebuah  kebenaran 
yang  wajib  diterima.  (4)  Tidak  dipenuhi 
syarat-syarat
orang untuk dipilih menjadi pemimpin karena sekarang
ini
semua  orang  mempunyai  hak  yang  sama  untuk 
dipilih. (5) Persamaan
hak untuk memilih (persamaan
mutlak  tanpa  ada  perbedaan  keahlian  masing-
masing)
sehingga   tidak   sesuai   dengan   firman   Allah   dalam  
Q.s.
al-Zumar  [39]:  9  yang  artinya  “Adakah  sama 
orang-orang
yang   mengetahui   dengan   orang-orang  
yang  tidak  mengetahui  ?  Sesungguhnya  orang 
yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (6) Aturan
demokrasi yang
diambil dari Barat sehingga merupakan
aturan jahiliyah. (7) Dalam kenyataannya,
tujuan dari
pelaksanaan  pemilu  menghasilkan  jabatan  yang  tidak 
mencapai  kebaikan 
dan  maslahat  bagi  masyarakat.  (8) 
Tidak adanya perbaikan yang signifikan
bagi kehidupan
umat manusia.
Kelompok    kedua    berpandangan    menghalalkan   
pemilu  sebagaimana 
dipraktekkan  sekarang  ini  karena 
masih  tetap  dalam  koridor  syariah.  Kelompok 
ini
berpendapat bahwa pemilu sebagaimana dipraktekkan
sekarang ini hukumnya halal, selama
metode pemilihan
sesuai dengan syariah. Pendapat ini dikemukakan oleh
mayoritas
ulama   kontemporer,   seperti   Mu
h
ammad
Rasyîd   Ridhâ,   Abû   al-A’lâ   al-Mawdûdî,   Yûsuf   al-
Qaradhawî  dan  ‘Abd  al-Qâdir  Awdah.  Ada  beberapa 
alasan  atau  dalil  yang  membolehkan  pemilu  seperti 
sekarang ini, yaitu: (1) Inti sebenarnya dari baiat adalah
pemberitahuan  dari  rakyat  yang  memberikan  baiat 
akan  persetujuan  dan  rida  terhadap  seseorang  yang 
akan  dibaiat,  dan  hal  ini  terwujud  dalam  pemilu  hari 
ini
25
.  (2)  Kenyataan  dalam  sejarah  Islam  dan  riwayat 
Islam menunjukkan adanya sebuah proses pemilu. (3)
Syariat  Islam  datang  membawa  pengakuan  bagi  peran 
dan  rida  rakyat  dalam  baiat  serta  tidak  menetapkan 
batasan  metode  yang  dengannya  diketahui  keridaan 
itu.  Pemilu  termasuk  salah  satu  metode  aktual  yang 
digunakan    untuk    mengetahui    keridaan    rakyat.   
Disamping  itu,  tidak  ada  dalil  yang  menunjukkan 
pelarangan dan tidak pula yang membatasi metodenya
dengan  sarana-sarana  tertentu.
26
  (4)  Umatlah  yang 
25
 ‘Abd al-
H
âmid al-Anshârî,
al-‘Âlam al-Islâmî bayna al-Syûrâ wa
al-Dimuqrathiyah
, (Cairo, Dâr al-Fikr al-Islam, 1922 H), Cetakan ke-
1, h. 30 dan 324.
26
   Mu
h
ammad   A
h
mad   Mufti,  
Mafâhîm   Siyâsah   Syar’iyyah
,
(Amman:  Dâr  al-Basyîr,  1418  H),  h.  50,  lihat  pula  Munîr  al-Bayâtî, 
merupakan   pemilik   hak   dalam   pemilihan   seorang  
hakim  atau  kepala  negara.  Jika  demikian,  maka  bagi 
mereka  hak  terlibat  secara  langsung  dalam  pemilihan 
atau  melalui  wakil-wakilnya  dari  kalangan 
ahl  al-
h
all
wa al-‘aqd
.
27
 (5) Metode pengangkatan seorang khalifah
atau kepala negara termasuk dalam kategori ijtihadiyah.
Tidak ada dalil khusus yang membatasinya dengan satu
metode tertentu, sebab ia berbeda menurut perbeda
an
tempat  dan  zaman.  Dibolehkan  menempuh  metode 
apa  saja  dalam  pemilihan  pemimpin  selama  tidak 
ber
tentangan  dengan  nas-nas  syarak.
28
  (6)  Pemilihan 
umum  merupakan  metode  aktual  yang  dengannya 
dapat  diketahui  pandangan  rakyat  secara  adil  dan 
obyektif. Mereka yang berbeda dengan metode ini tentu
tidak  memiliki  dalil  yang  sahih.  Ketika  mereka  ingin 
mengetahui tentang
ahl al-
h
all wa al-‘aqd
 serta metode
dan  batasan  yang  digunakan  untuk  zaman  sekarang, 
adakah cara selain metode pemilu? Bagaimana mereka
menjamin   perpindahan   kekuasaan   serta   mencegah  
aturan-aturan  politik  dari  kezaliman  tanpa  melalui 
proses pemilu.
29
 (7) Allah Swt. memuji kaum mukmin
yang telah menyeru kepada yang makruf dan mencegah
kemunkaran  sebagaimana  dalam  Q.s.  Âli  ‘Imrân  [3]: 
110  yang  artinya:  “Kamu  adalah  umat  terbaik  yang 
dilahirkan  untuk  manusia,  menyuruh  kepada  yang 
makruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman
kepada  Allah”,  dan  Q.s.  Âli  ‘Imrân  [3]:  104  yang 
artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat  yang  menyeru  pada  kebajikan,  menyuruh  pada 
yang  makruf  dan  mencegah  yang  munkar.  (8)  Tidak 
mungkin  seluruh  umat  menegakkan  kewajiban  dan 
tidak  pula  selain  kewajiban 
kifâ’î
.  Hendaknya  bagi 
mereka  mengambil  asas  perwakilan,  yaitu  manusia 
menyerahkan kewajiban tersebut kepada wakil mereka.
Masalah ini yang terjadi dan diwujudkan dalam pemilu
yang  dipraktekkan  saat  ini  untuk  memilih  perwakilan 
rakyat  kepada  orang-orang  yang  akan  menegakkan 
kewajiban
kifâyah
 tersebut.
30
Fatwa MUI tentang Haramnya Golput
Majelis   Ulama   Indonesia   (MUI)   mengeluarkan  
fatwa  haram  untuk  golput  atau  tidak  menggunakan 
hak pilih pada saat pemilu. Fatwa tersebut dikeluarkan
pada  tanggal  25  Januari  2009,  ketika  Majelis  Ulama 
al-Nizhâm al-Siyâsî al-Islâmî
, h. 178 dan 325.
27
 Munîr al-Bayâtî,
al-Nizhâm al-Siyâsî al-Islâmî
, h. 322 dan 325.
28
   Shalâ
h
   al-Dîn   Dabbûs,  
Al-Khalîfah   Tawliyatuh   wa   ‘Azluh
,
(Iskandariyah: Muassasah al-Tsaqâfiyyah al-Jâmi’iyyah, t.t.), h. 243-244.
29
  Dâwud  al-Baz, 
Al-Syûrâ  wa  al-Dimuqrathiyyah  al-Niyâbiyyah
,
(Iskandariyah: Dâr al-Fikr al-Jâmi’î, 2004) h. 153 dan 326-327.
30
 ‘Abd al-Karîm Zaydan,
Makalah al-Dimuqratiyah wa Musyârakah
al-Muslim   fî   al-Intikhâbât,   Majallah   al-Majma’   al-Fiqh   al-Islâmî
,
Râbithah al-‘Âlam al-Islâmî, Edisi X, 1426 H, h. 58-59 dan 327.
65
Sodikin:
Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam
Indonesia melakukan sidang Ijtima ke-III yang digelar
di  Padang  Panjang,  Sumatera  Barat.  Berdasarkan  hasil 
sidang yang dihadiri sekitar 750 orang ulama tersebut,
disepakati  lima  point  penting,  yaitu:  (1)  Pemilihan 
umum  dalam  pandangan  Islam  adalah  upaya  untuk 
memilih  pemimpin  atau  wakil  yang  memenuhi  syarat 
ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan
aspirasi  umat  dan  kepentingan  bangsa.  (2)  Memilih 
pemimpin  dalam  Islam  adalah  kewajiban  untuk  me-
negakkan
imâmah
   dan  
imârah
   dalam   kehidupan  
bersama.  (3) 
Imâmah
  dan 
imârah
  dalam  Islam  meng-
hajatkan  syarat  sesuai  dengan  ketentuan  agama  agar 
terwujudnya   kemaslahatan   dalam   masyarakat.   (4)  
Memilih   pemimpin   yang   beriman   dan   bertakwa,  
jujur  (
siddîq
),  terpercaya  (
amânah
),  aktif  dan  aspiratif 
(
tablîgh
),   mempunyai   kemampuan   (
fathânah
)   dan  
mem 
per 
juangkan  kepentingan  umat  Islam  hukumnya 
adalah
wajib
.  (5)  Memilih  pemimpin  yang  tidak  me-
menuhi  syarat-syarat  sebagaimana  disebutkan  dalam 
butir  1  (satu)  atau  tidak  memilih  sama  sekali  padahal 
ada  calon  yang  memenuhi  syarat  hukumnya  adalah 
haram.
Fatwa tersebut kemudian diikuti dua rekomendasi,
yaitu:   (1)   Umat   Islam   dianjurkan   untuk   memilih  
pemimpin   dan   wakil-wakilnya   untuk   mengemban  
tugas
amar  ma’rûf  nahy  munkar
.  (2)  Pemerintah  dan 
penyelenggara  pemilu  perlu  meningkatkan  sosialisasi 
penyelenggaraan  pemilu  agar  partisipasi  masyarakat 
dapat meningkat sehingga hak masyarakat terpenuhi.
Setelah   keluarnya   fatwa   MUI   tersebut,   banyak  
tanggapan
pro
  dan 
kontra
  dari  pelbagai  kalangan.  Ada 
yang sependapat dengan fatwa MUI itu dengan alasan
agar  ada  wakil  dari  umat  Islam  yang  duduk  di  DPR. 
Selain itu, ada pula pendapat yang tidak setuju dengan
fatwa  MUI  tersebut  karena  golput  berkaitan  dengan 
hak  memilih,  bukan  wajib  memilih.  Disamping  itu, 
dengan keluarnya fatwa tersebut ada yang berpendapat
bahwa MUI membenarkan praktek pemilu sekarang ini
yang  menimbulkan  banyak  kemudaratan.  Mekanisme 
pemilihan  pemimpin  sudah  menyimpang  dari  nilai-
nilai syariah, bahkan dengan fatwa tersebut MUI telah
melanggengkan bobroknya sistem politik di Indonesia.
Fatwa  tersebut  sebenarnya  sebagai  salah  satu  upaya 
dari  MUI  agar  umat  Islam  memilih  pemimpin  yang 
memenuhi kriteria
syar’i
, meskipun pelaksanaan pemilu
itu  sendiri  sudah  sangat  liberal  dan  menyimpang  dari 
ajaran hukum Islam. Oleh karena itu, maka wajar jika
banyak kalangan yang tidak mendukung adanya fatwa
dari MUI tersebut.
Hal   ini,   meskipun   mekanisme   dan   sistem   pe-
laksanaan  pemilu  yang  belum  sesuai  dengan  syariah, 
tetapi  setidaknya  MUI  telah  memberikan  peringatan 
kepada  umat  tentang  pentingnya  pemilihan  umum 
untuk  memilih  perwakilan  umat  atau  penguasa  yang 
amanah   sesuai   dengan   tuntutan   Rasulullah   Saw.  
Pemilihan umum di Indonesia yang merupakan praktek
ketatanegaraan   yang   harus   diselenggarakan   untuk  
memilih   pemimpin   maupun   perwakilan   rakyat   di  
lembaga perwakilan telah menimbulkan permasalahan.
Dengan   demikian,   MUI   memberikan   jalan   keluar  
(meskipun  banyak  juga  yang  tidak  sependapat)  agar 
umat  Islam  tidak  terjebak  dalam  permainan  politik 
yang dilakukan oleh kaum kafir yang tidak suka dengan
Islam yang kemudian merugikan umat Islam.
Apabila mencermati pendapat di atas dengan mem-
perhatikan  pelaksanaan  pemilu  yang  diselenggarakan 
di Indonesia, tentu dapat dilihat bahwa memilih wakil
rakyat untuk melakukan tugas sesuai syariah dan dalam
praktek  ketatanegaraan  berfungsi  untuk  melakukan 
check   and   balance
   atau  
mu
h
âsabah   li   al-
h
ukkâm
(mengoreksi  penguasa),  tentu  saja  hukumnya  boleh. 
Hal  ini  karena  pemilih  memilih  atau  memberikan 
wakâlah
  kepada  wakilnya  untuk  melakukan  tugasnya 
diperbolehkan,   mungkin   juga   hukumnya   menjadi  
wajib. Begitu juga wakil rakyat yang dipilih dengan tugas
membuat  undang-undang  dengan  mekanisme  yang 
dibenarkan  dalam  syariah,  sehingga  undang-undang 
yang  lahir  dari  parlemen  merupakan  undang-undang 
yang  dibenarkan  oleh  Islam.  Mekanisme  pembuatan 
undang-undang tidak didasarkan pada suara mayoritas,
tetapi didasarkan pada pertimbangan dalil atau karena
perintah  wahyu.  Berarti  di  sini  suara  rakyat  bukanlah 
suara  Tuhan,  tetapi  suara  Tuhan-lah  yang  mengatur 
kehidupan umat manusia (rakyat). 
Dalam  hal  mencermati  rancangan  undang-undang 
pemilihan  kepala  daerah  yang  baru  saja  disahkan  oleh 
DPR,  dengan  opsi  pemilihan  kepada  daerah  melalui 
DPRD, sebenarnya sebagai upaya mengembalikan kembali
proses  demokrasi  yang  tidak  individualistis.  Pemilihan 
kepala daerah melalui DPRD setidaknya sudah mendekati
kepada syariah, karena tidak mengorbankan rakyat banyak
dengan  segala  kemudaratan  yang  dapat  ditekan  sekecil 
mungkin.  Adapun  rakyat  yang  mempunyai  kedaulatan 
dapat  mewakilkan  kepada  wakil-wakilnya  yang  ada  di 
DPRD  untuk  mewakili  dalam  memilih  kepada  daerah. 
Hal  ini  juga  dapat  dikatakan  demokratis  menurut  Islam 
dan tidak harus melalui rakyat secara langsung.
Penutup
Pemilu yang dipraktekkan di Indonesia, khususnya,
dan  di  belahan  dunia,  pada  umumnya,  merupakan 
praktek   ketatanegaraan   yang   harus   dilaksanakan,  
66
Ahkam:
Vol. XV, No. 1, Januari 2015
yang  selain  sebagai  implementasi  kedaulatan  rakyat 
juga  berfungsi  untuk  memilih  wakil-wakil  rakyat  dan 
memilih   pemimpinnya.   Akan   tetapi   apabila   dikaji  
secara  mendalam,  praktek  pemilu  menurut  hukum 
Islam  sebenarnya  sudah  menyimpang  dari  ketentuan 
syariah,  meskipun  MUI  telah  mengeluarkan  fatwa 
wajib hukumnya untuk memilih dan haram hukumnya
apabila tidak memilih (golput).
Dalam   pandangan   Islam,   pemilu   adalah   salah  
satu  cara,  bukan  satu-satunya  cara  (
uslûb
)  yang  biasa 
digunakan untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin.
Hal ini, meskipun hukum asal pemilu itu sebagai
uslûb
adalah  mubah  (boleh),  tetapi  perlu  diketahui  bahwa 
pelaksanaan  pemilu  harus  sesuai  dengan  ketentuan 
syariah.  Dalam  pemilu  legislatif, 
uslûb
  itu  digunakan 
untuk  memilih  wakil  rakyat  dengan  tugas  membuat 
undang-undang  dan  harus  sesuai  dengan  ketentuan 
syariah,   tidak   berdasarkan   suara   mayoritas   serta  
melakukan
checks  and  balancies
  terhadap  kekuasaan 
lainnya.  Begitu  juga  dalam  pemilihan  kepala  negara 
dan kepala daerah,
uslûb
 ini digunakan untuk memilih
orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin.
Dengan demikian, pemilihan umum dalam pandangan
Islam  dapat  dipergunakan  sebagai  salah  satu  cara  dalam 
kehidupan kenegaraan, apabila negara yang bersangkutan
telah memilih jalan demokrasi sebagai satu-satunya dalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Akan
tetapi,  demokrasi  yang  dimaksudkan  adalah  demokrasi 
yang sesuai dengan ketentuan syariah. []
Pustaka Acuan
A. Hassan,
Al Furqon
 (
Tafsir Al Qur’an
), Jakarta: Tinta
Mas, 1962.
Al-Buraey,  Muhammad  A., 
Islam  Landasan  Alternatif 
Administrasi   Pembangunan
,  Terjemahan  Achmad 
Nashir  Budiman,  Jakarta:  Rajawali  Press,  1986, 
Cetakan Pertama.
Anshârî,  al-,  ‘Abd  al-
H
âmid,
al-‘Âlam  al-Islâmî  bayna 
al-Syûrâ wa al-Dimuqrathiyah
, Cairo, Dâr al-Fikr al-
Islam, 1922 H, Cetakan ke-1.
Asad,   Muhammad,   “Pemerintahan   Islam   dan   Asas-
Asasnya”,   dalam   Salim   Azzam   (Editor),  
Beberapa
Pandangan  Tentang  Pemerintahan  Islam
,  terjemahan 
Malikul Awwal dan Abu Jalil, Bandung: Mizan, 1983,
Cetakan pertama.
Asshiddiqie,  Jimly,  “Bung  Hatta:  Bapak  Kedaulatan 
Rakyat”,   dalam  
Bung   Hatta   Bapak   Kedaulatan  
Rakyat
,  Editor:  Sri  Edi  Swasono,  Jakarta:  Yayasan 
Bung Hatta, 2002.
Asshiddiqie,   Jimly,  
Islam   dan   Kedaulatan   Rakyat
,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995, Cet. Pertama.
Azzam, Salim,
Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan
Islam
, Bandung: Mizan, 1983.
Bayâtî, al-, Munîr,
al-Nizhâm al-Siyâsî al-Islâmî
.
Baz,  al-,  Dâwud, 
Al-Syûrâ  wa  al-Dimuqrathiyyah  al-
Niyâbiyyah
,   Iskandariyah:   Dâr   al-Fikr   al-Jâmi’î,  
2004.
Dabbûs,  Shalâ
h
  al-Dîn, 
Al-Khalîfah  Tawliyatuh  wa 
‘Azluh
,  Iskandariyah:  Muassasah  al-Tsaqâfiyyah  al-
Jâmi’iyyah, t.t.
Departemen  Pendidikan  dan  Kebudayaan  Republik 
Indonesia,
Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia
,  Jakarta: 
Balai Pustaka, 1991.
Hatta,  Mohammad, 
Demokrasi  Kita
,  Jakarta:Ghalia 
Indonesia, 1977.
Kementerian  Urusan  Agama  Islam,  Wakaf,  Da’wah 
dan   Irsyad   Kerajaan   Saudi   Arabia,  
Al   Qur’an  
dan    Terjemahannya
,    Medina    Al-Munawwarah:   
Percetakan Raja Fahd, 1418.
Mas’udi,  Masdar  Farid, 
Syarah  Konstitusi  UUD  1945 
dalam Perspektif Islam
, Jakarta: Alvabet, 2010.
Mufti,     Mu
h
ammad     A
h
mad,
Mafâhîm     Siyâsah    
Syar’iyyah
, Amman: Dâr al-Basyîr, 1418 H.
Samuddin,    Rapung,   
Fiqih    Demokrasi,    Menguak   
Kekeliruan   Pandangan   Haramnya   Umat   Terlibat  
Pemilu dan Politik
, Jakarta: Gozian Press, 2013.
Singodimedjo,  Kasman, 
Masalah  Kedaulatan
,  Jakarta:  Abstract.
General Election in Islamic Law.
This article discuss the implementating general election in Islamic law,
both the legislative elections, elections of regional heads and presidential elections. Indonesian elections in accordance
with the mechanism of the western democracies, so that the election is the only way in choosing representatives and
leaders. In the Islamic view of the elections is not the only way but one of the ways to choose a government or leader.
Elections according to the Islamic view of the law may permissible, but must be in accordance with the implementation
of sharia, not using a mechanical cause many western democracies not helpful.
Abstract:
 general election, Islamic law, democracy
Abstrak.
Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam.
Tulisan ini menjelaskan tentang pelaksanaan pemilihan umum
menurut  hukum  Islam,  baik  pemilu  legislatif,  kepala  daerah  maupun  presiden.  Pelaksanaan  pemilu  di  Indonesia 
sesuai dengan mekanisme demokrasi Barat sehingga pemilu merupakan satu-satunya cara dalam memilih wakil rakyat
maupun pemimpin. Dalam pandangan Islam, pemilu bukan merupakan satu-satunya cara tetapi salah satu cara yang
dilakukan  untuk  memilih  wakil  rakyat  atau  pemimpin.  Pemilu  menurut  pandangan  Islam  hukumnya  boleh  atau 
mubah, tetapi pelaksanaannya harus sesuai ketentuan syariah, tidak menggunakan mekanisme demokrasi Barat yang
banyak menimbulkan kemudaratan.
Kata kunci:
 pemilihan umum, hukum Islam, demokrasi
Naskah diterima: 27 Februari 2015, direvisi: 25 November 2015,
disetujui untuk terbit: 4 Desember 2014.
Pendahuluan
Pemilihan  umum,  yang  kemudian  dikenal  dengan 
pemilu,  dalam  demokrasi  Barat  merupakan  salah  satu 
implementasi  dari  kedaulatan  rakyat,  sehingga  apa 
pun  alasannya  agar  hak-hak  rakyat  dapat  disalurkan 
maka  pemilulah  yang  harus  diselenggarakan.  Hiruk 
pikuk   penyelenggaraan   pemilu   di   Indonesia,   baik  
pemilu  kepala  daerah,  legislatif  maupun  presiden  dan 
wakil   presiden,   dilaksanakan   dalam   rangka   untuk  
memenuhi  kedaulatan  rakyat  yang  merupakan  suatu 
praktek  ketatanegaraan  untuk  mengisi  jabatan  publik. 
Perdebatan  panjang  mengenai  RUU  pemilihan  kepala 
daerah  yang  kemudian  hasil  sidang  paripurna  DPR 
mengesahkan pemilihan kepada daerah melalui DPRD
juga  merupakan  alasan  dalam  rangka  untuk  meng-
implementasikan  kedaulatan  rakyat  yang  dimaksud. 
Oleh  karena  pelaksanaan  pemilu  tersebut  merupa-
kan  amanat  yang  dikandung  dalam  Undang-Undang 
Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945,  maka 
pemilu  yang  merupakan  praktek  ketatanegaraan  yang 
harus  dilaksanakan.  Pemilu  selain  implementasi  dari 
kedaulatan  rakyat,  juga  pemilu  dilaksanakan  se 
bagai 
pemenuhan  hak-hak  asasi  manusia,  juga  pemilu  di-
laksanakan  sebagai  penggantian  pejabat  negara  secara 
teratur.  Akan  tetapi,  setiap  pemilu  yang  diselenggara-
kan selalu menimbulkan masalah, dan terjadi sengketa
antara  peserta  pemilu  maupun  dengan  penyelenggara 
pemilu.  Pemilu  yang  diselenggarakan  membutuhkan 
biaya yang sangat mahal, baik biaya sosial maupun dana
yang berasal dari anggaran negara/daerah. Konflik yang
terjadi  setelah  pemilu  dilaksanakan,  karena  ada  pihak 
yang  merasa  tidak  puas  dengan  hasil  yang  diperoleh. 
Wakil-wakil  rakyat  yang  terpilih  juga  belum  tentu 
menghasilkan  wakil  yang  membawa  amanah,  justru 
wakil  yang  dipilih  adalah  para  koruptor,  baik  anggota 
legislatif maupun kepala daerah. Apabila melihat realita
demikian, maka pemilu yang dilaksanakan di Indonesia
banyak menimbulkan mudarat daripada manfaat yang
diperoleh. 
Mayoritas  penduduk  Indonesia  beragama  Islam  dan 
agama Islam harus menjadi bagian dalam kehidupan  
nya,
termasuk  di  dalamnya  adalah  bagaimana  cara  memilih 
pemimpin.  Agama  Islam  (termasuk  hukumnya)  tidak 
60
Ahkam:
Vol. XV, No. 1, Januari 2015
memberikan  batasan  untuk  memilih  metode  tertentu 
dalam  memilih  wakil  rakyat  atau  pemimpinnya.  Hal 
ini  dikarena  dalam  Islam  (Hukum  Islam)  mempunyai 
tujuan yang agung yaitu agar tidak ada kesulitan (
h
araj
)
bagi  kaum  muslimin.  Dengan  demikian,  umat  dapat 
memilih  pemimpinnya  (wakil  rakyat,  kepala  daerah 
maupun  presiden)  mereka  berdasarkan  metode  yang 
sejalan  dengan  tuntutan  zaman,  tempat  dan  waktu 
selama tidak keluar dari batas syariat.
Sebenarnya  terjadi  perbedaan  pendapat  di  antara 
ulama atau fukaha dalam hal praktek pemilu, khususnya
yang dipraktekkan di Indonesia maupun di dunia lain.
Ada yang menyatakan bahwa pemilu adalah salah satu,
bukan  satu-satunya  cara  (
uslûb
),  yang  bisa  digunakan 
untuk memilih para wakil rakyat yang duduk di majelis
perwakilan atau untuk memilih penguasa. Sebagai salah
satu  cara,  dalam  pandangan  Islam,  tentu  saja  pemilu 
ini  tidak  wajib
1
.  Menurut  pendapat  ini  tentu  saja 
perlu dicari cara lain yang sesuai dengan syariat. Islam
memberikan  alternatif  dalam  pemilihan  wakil  rakyat 
yang akan duduk di majelis perwakilan maupun memilih
penguasa  untuk  memimpin  rakyatnya.  Syariat  tidak 
menentukan  sistem  apa  yang  digunakan,  tetapi  Islam 
memberikan  pedoman  dalam  kehidupan  bernegara. 
Agama  Islam  itu  nasihat  sebagaimana  Rasulullah  Saw 
bersabda: “
Agama itu nasihat. “Kami bertanya: “Untuk
siapa  ya  Rasulullah?”  Beliau  menjawab:  “Untuk  Allah, 
Kitab-Nya,  Rasul-Nya,  para  pemimpin  kaum  muslimin 
dan  mereka  semuanya  (kaum  muslim)
”.  (H.r.  Muslim 
dari Tamîm al-Dârî).
Hadits  tersebut  menunjukkan  agar  umat  dalam 
setiap  perbuatannya  dapat  dipertanggungjawabkan  di 
hadapan  Allah  Swt.,  termasuk  dalam  melaksanakan 
pemilu. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran:
Dan  sesungguhnya  Kami  telah  menciptakan  manusia 
dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Kami
lebih  dekat  kepadanya  daripada  urat  lehernya.  (yaitu) 
ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, yang
satu  duduk  di  sebelah  kanan  dan  yang  lain  duduk  di 
sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya,
melainkan   ada   didekatnya   malaikat   pengawas   yang  
selalu hadir. (Q.s. Qâf [50]: 16-18)
Allah Swt. telah menurunkan syariat untuk meng
atur
kehidupan  umat  manusia  (rakyat),  sehingga  diterima 
atau tidaknya pertanggungjawaban tersebut ditentukan
dengan  syariat.  Apabila  sesuai  dengan  syariat,  maka 
akan  diterima,  sebaliknya  apabila  tidak  sesuai  maka 
akan  ditolak,  sebagaimana  Sabda  Nabi  Saw.  bahwa 
siapa  saja  yang  melakukan  amal  perbuatan  yang  tidak 
1
 Dikutip dari Buletin Dakwah,
Al-Islam
, “Untuk Kita Renungkan”,
Hizbut Tahrir Indonesia, Edisi 701 Tahun XIX 11 Jumadil Akhir 1435
H/11 April 2014 M.
sesuai dengan tuntutan syariat maka perbuatan itu akan
tertolak. (H.r. Muslim). Begitu juga dalam pelaksanaan
pemilu di Indonesia, harus dilihat apakah sudah sesuai
dengan syariat atau belum.
Hakikat Kedaulatan Rakyat
Berbicara   kedaulatan   rakyat   berarti   membicara-
kan  tentang  kekuasaan  yang  tertinggi  ada  pada  rakyat 
sebagaimana   dikemukakan   di   atas.   Untuk   meng-
implementasikan  kedaulatan  rakyat  maka  harus  di-
laksanakan  dengan  pemilihan.  Pemilihan  semacam  ini 
sebagai wujud dari demokrasi perwakilan yang dikenal
selama  ini,  karena  tidak  mungkin  semua  rakyat  dapat 
memimpin sehingga perlunya perwakilan umat/rakyat
sebagai aspirasi rakyat.
Kata  ”kedaulatan”  berasal  dari  bahasa  Arab,  yaitu 
dawlah
 atau
dûlah
, dalam kamus
al-Zurjawî
 dikatakan
bahwa   secara   harfiah  
dûlah
   atau  
dawlah
   berarti  
”putaran  atau  giliran”
2
.  Kata 
dawlah
  memiliki  dua 
bentuk  yaitu  pertama, 
dûlatan
  yang  berarti  beredar. 
Istilah   ini   dihubungkan   dengan   adanya   larangan  
peredaran kekayaan hanya di antara orang kaya. Kedua,
nudâwiluhâ
  yang  berarti  mempergantikan.  Istilah  ini 
berkaitan  dengan  adanya  penegasan  bahwa  kekuasaan 
merupakan  sesuatu  yang  harus  digilirkan  di  antara 
umat
3
. Menurut sejarah peradaban Islam, kata
dawlah
dipergunakan untuk menunjuk pada pengertian rezim
kekuasaan, seperti Daulah Bani Umayyah dan Daulah
Bani ’Abbasiyyah
4
. Masdar Farid Mas’udi menyatakan:
Kedaulatan   sebagai   konsep   kekuasaan   (
sovereignty
)
untuk  mengatur  kehidupan  ada  yang  bersifat  terbatas 
(
muqayyad
),  relatif  (
nisbî
)  dan  ada  yang  tidak  terbatas 
(
ghayr  muqayaad
)  atau  mutlak  (absout).  Kedaulatan 
absolut  adalah  kedaulatan  atas  semua  kedaulatan  yang 
tidak  dibatasi  oleh  kedaulatan  pihak  lain.  Kedaulatan 
absolut  hanya  milik  Allah  Swt.,  untuk  mengatur  alam 
semesta   melalui   hukum   alam-Nya   dan   mengatur  
kehidupan manusia melalui sinyal-sinyal hukum moral
yang  diilhamkan  kepada  setiap  nurani  (
qalb
)  manusia 
atau  diwahyukan  melalui  para  nabi  dan  rasul-Nya, 
sedangkan  dalam  negara  sebagai  bangunan  sosial  dan 
proyek  peradaban  yang  direkayasa  oleh  manusia  dalam 
wilayah  tertentu  yang  berdaulat  adalah  manusia  secara 
kolektif sebagai khalifah-Nya
5
.
Makna     kedaulatan     dapat     ditemukan     dalam    
Alquran  antara  lain  Q.s.  Âli  ’Imrân  [3]:  26  yang  arti-
nya   ”Katakanlah:   Wahai   Tuhan   Yang   mempunyai  
2
  Masdar  Farid  Mas’udi, 
Syarah  Konstitusi  UUD  1945  dalam 
Perspektif Islam
, (Jakarta: Alvabet, 2010), h. 46.
3
  Jimly  Asshiddiqie,  “Bung  Hatta:  Bapak  Kedaulatan  Rakyat”, 
dalam
Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat
, Editor: Sri Edi Swasono,
(Jakarta: Yayasan Bung Hatta, 2002), h. 87.
4
 Jimly Asshiddiqie,
Islam dan Kedaulatan Rakyat
, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1995), Cet. Pertama, h. 87.
5
 Masdar Farid Mas’udi,
Syarah Konstitusi UUD 1945
, h. 47.
61
Sodikin:
Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam
kerajaan...”
6
.  Dalam  tafsir  dan  kajian  yang  lain  ter-
hadap  ayat  tersebut  ada  pula  yang  menerjemahkan 
sebagai ”Katakanlah Hai Tuhan Yang memiliki (sekalian)
Kekuasaan,...”
7
.  Ada  juga  yang  mengartikan  ”Ia,  Allah 
Tuhan yang berdaulat...”
8
.
Selanjutnya   kata   ”rakyat”   diartikan   dengan   se-
genap   penduduk   suatu   negara   (sebagai   imbangan  
pemerintahan)
9
. Dalam bahasa Inggris diartikan dengan
people
,  sedangkan  dalam  bahasa  Arab  dijumpai  kata 
ra’iyyah
   yang   mengacu   pada   pengertian   masyarakat  
(rakyat).  Pada  dasarnya  setiap  negara  akhirnya  akan 
berbicara   tentang   rakyat,   dan   rakyat   pada   suatu  
negara   adalah   pemegang   kekuasaan,   artinya   rakyat  
menjadi  sumber  kekuasaan  dalam  arti  relatif.  Moh. 
Hatta   menyatakan   bahwa   kedaulatan   rakyat   berarti  
pemerintahan rayat yang dilakukan oleh para pemimpin
yang   dipercaya   oleh   rakyat.   Dengan   sendirinya   di  
kemudian  hari  pimpinan  pemerintahan  di  pusat  dan 
daerah jatuh ke tangan pemimpin-pemimpin rakyat
10
.
Pemahaman   tentang   rakyat   dalam   kedaulatan  
rakyat berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat dan
menempatkan  kekuasaan  tertinggi  ada  pada  rakyat. 
Ajaran  kedaulatan  rakyat  sebagai  ajaran  yang  terakhir 
dipraktekkan pada negara-negara modern mendapatkan
tempat  yang  baik,  karena  ajaran  kedaulatan  rakyat 
dapat dianggap sebagai ajaran yang terbaik selain ajaran
kedaulatan yang lainnya. Oleh karena rakyat berdaulat
atau   berkuasa,   maka   segala   aturan   dan   kekuasaan  
yang  dijalankan  oleh  negara  tidak  boleh  bertentangan 
dengan  kehendak  rakyat.  Menurut  ajaran  ini,  rakyat 
berdaulat dan berkuasa untuk menentukan bagaimana
rakyat   diperintah   dalam   rangka   mencapai   tujuan  
negara.  Ajaran  ini  dipraktekkan  pada  negara-negara 
Barat yang bersifat individualistis karena menempatkan
rakyat  sebagai  sesuatu  yang  tinggi,  sehingga  menurut 
mereka  suara  rakyat  adalah  suara  Tuhan.  Akan  tetapi 
dalam ajaran Islam bukan berarti rakyat yang berkuasa,
tetapi ada hak Allah yang harus didahulukan, sehingga
setiap   peraturan   perundang-undangan   atau   hukum  
harus sesuai syariat.
Seorang tokoh dan intelektual muslim, yaitu Kasman
Singodimedjo menyatakan bahwa:
6
  Kementerian  Urusan  Agama  Islam,  Wakaf,  Da’wah  dan  Irsyad 
Kerajaan  Saudi  Arabia, 
Al  Qur’an  dan  Terjemahannya
,  (Medina  Al-
Munawwarah: Percetakan Raja Fahd, 1418), h. 79.
7
  A.  Hassan, 
Al  Furqon
  (
Tafsir  Al  Qur’an
),  (Jakarta:  Tinta  Mas, 
1962), h. 103.
8
  Salim  Azzam, 
Beberapa  Pandangan  Tentang  Pemerintahan  Islam
,
(Bandung: Mizan, 1983), h. 80.
9
  Departemen  Pendidikan  dan  Kebudayaan  Republik  Indonesia, 
Kamus Besar Bahasa Indonesia
, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991) h. 722.
10
  Mohammad  Hatta, 
Demokrasi  Kita
,  (Jakarta:Ghalia  Indonesia, 
1977), h. 89.
Karena  rakyat  atau  umat  itu  selalu  terdiri  atas  mausia-
manusia, dan karena manusia itu sebagai makhluk selalui
daif  atau  lemah  (Allah  menyatakan  di  dalam  Alquran 
insân  dha’îf
  yang  artinya  manusia  itu  lemah),  maka 
tentunya  semua  hasil  atau  produk  daripada  kedaulatan 
rakyat/umat   itu   selalu   pula   tidak   dapat   dijamin  
kebenarannya  setiap  waktu.  Apalagi  apabila  ada  ekses-
ekses  atau 
overacting
  yang  lucu-lucu,  sehingga  dengan 
begitu  tidak  pula  dapat  dikatakan,  bahwa  kedaulatan 
rakyat  itu  selalu  mengandung  kekuasaan  yang  mutlak/
absolut benar. Dan karena yang mutlak benar itu adalah
Allah, maka kedaulatan rakyat/umat itu, jika mau benar
dan  baik  haruslah  disesuaikan  dan  diarahkan  kepada 
isi,  maksud  dan  tujuan  dari  kedaulatan  Allah,  yang 
berkekuasaan penuh sepenuh-penuhnya atau mutlak).
11
Menurut   ajaran   Islam,   sebagaimana   dikemuka-
kan  oleh  Kasman  Singodimedjo,  bahwa  Allah  Yang 
menciptakan  dan  Tuhan  seru  sekalian  alam  seisinya 
itu  sungguh-sungguh  mentolerir/mengizinkan  adanya 
kedaulatan   rakyat,   adanya   kedaulatan   negara   dan  
adanya kedaulatan hukum, yang tentunya di dalam arti
terbatas,  yaitu  di  dalam  batas-batas  keizinan  Allah
12
.
Ekspresi  berdaulatnya  Allah  tercermin  dalam  Q.s.  al-
A
h
zâb [33]: 36 yang dapat diartikan bahwa jika Allah
dan  Rasul  telah  menetapkan  suatu  perkara  (hukum), 
maka  seorang  mukmin  atau  mukminat  tidak  boleh 
menetapkan   ketentuan   lain   menurut   keinginannya  
sendiri. Pendapat Kasman Singodimedjo yang tercermin
dalam  Q.s.  al-A
h
zâb  [33]:  36  tersebut  menunjukkan 
bahwa  meskipun  kedaulatan  yang  berarti  rakyat  yang 
berdaulat dalam arti rakyat yang mempunyai kekuasaan,
tetapi  masih  ada  yang  lebih  berdaulat  atau  berkuasa 
yaitu  Allah  Swt.  Di  sini  suara  rakyat  bukanlah  suara 
Tuhan, karena rakyat dapat saja melakukan perbuatan
yang tidak sesuai dengan syariat.
Dengan  demikian,  dalam  Islam  kekuasaan  politik 
hanya  memiliki  wewenang  hukum  untuk  mem 
buat 
produk  hukum  sebagai  upaya  menjalankan  syariat. 
Persoalan  kemudian  adalah  bagaimana  Allah  meng-
ekspresikan  kedaulatan-Nya  di  dunia  nyata.  Alquran 
menegaskan  bahwa  manusia  di  bumi  adalah 
khilâfah
(pengganti)  Allah  dengan  tugas  memakmurkan  bumi 
dan  kekuasaan  yang  dimiliki  adalah  amanah.  Oleh 
karena itu dalam Islam, kedaulatan Tuhan merupakan
sumber dari segala kedaulatan.
Dalam  pandangan  Islam,  kekuasaan  yang  dimiliki 
umat  Islam  bukanlah  hak  bawaan  mereka  sendiri, 
melainkan    amanat    dari    Allah.
13
    Demikian    juga   
11
  Kasman  Singodimedjo, 
Masalah  Kedaulatan
,  (Jakarta:  Bulan 
Bintang, 1978), h. 40.
12
 Kasman Singodimedjo,
Masalah Kedaulatan
, h. 24.
13
  Muhammad  Asad,  “Pemerintahan  Islam  dan  Asas-Asasnya”, 
dalam Salim Azzam (Editor),
Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan
Islam
,  terjemahan  Malikul  Awwal  dan  Abu  Jalil,  (Bandung:  Mizan, 
1983), Cetakan pertama, h. 80-81.
62
Ahkam:
Vol. XV, No. 1, Januari 2015
Muhammad A. Al-Buraey menyatakan bahwa:
Pemerintahan  dan  penguasa  hanya  untuk  Allah  dan 
harus sesuai dengan syariat, tidak ada seorang pun atau
kelompok yang memiliki hak untuk mengingkari Tuhan,
kedaulatan  hanya  untuk  Allah  semata,  legislasi  juga 
hanya untuk Allah, sehingga pemerintahan negara Islam
memperoleh keabsahannya hanya dengan melaksanakan
hukum-hukum Allah atau syariah-Nya.
14
Beberapa  ayat  Alquran  yang  menjadi  dalil  dan 
landasan  bahwa  kedaulatan  rakyat  bersumber  pada 
hukum  Allah  adalah  Q.s.  Fâthir  [35]:  16-17,  Q.s.  al-
Ma’ârij [70]: 40-41 dan Q.s. al-Furqôn [25]: 36-39
Dengan    demikian,    dipertegas    oleh    Kasman   
Singodimedjo bahwa:
Mengenai  kedaulatan  rakyat  atau  kedaulatan  ummat, 
maka  sesungguhnya  rakyat  atau  umat  itu  tidak  dapat 
dikatakan  berdaulat  di  dalam  arti  berkuasa  penuh, 
karena rakyat/ummat itu tetap saja terdiri atas manusia-
manusia yang sifatnya daif atau lemah sebagai makhluk.
15
Oleh karena rakyat atau umat tidak dapat berkuasa
sepenuhnya  dan  mereka  merasa  perlu  untuk  memilih 
pemimpin   di   antara   mereka   secara   bersama   yang  
kemudian diwakilkan kepada para wakilnya yang akan
duduk  di  pemerintahan,  baik  di  legislatif  maupun 
di    eksekutif.    Wakil-wakil    rakyat    tersebut    harus   
menyalurkan aspirasi rakyat, aspirasi rakyat yang tentu
yang  sesuai  dengan  syariat,  yang  berarti  pemimpin 
itu  telah  sungguh-sungguh  hanya  bertugas  atas  nama 
rakyat/umat yang sejalan dengan kehendak Tuhan.
Dengan   demikian,   dikenallah   pemilihan   untuk  
memilih  wakil-wakil  rakyat/umat  di  antara  mereka. 
Maka  di  dalam  sejarah  kebudayaan  Islam  sebenarnya 
sudah  mengenal  metode  atau  cara  untuk  memilih 
pemimpin  umat,  yang  berbeda  dengan  metode  yang 
sekarang   dikenal   yaitu   pemilihan   umum   sebagai  
implementasi kedaulatan yang dimaksud menurut versi
demokrasi Barat.
Sejarah Pemilu dalam Peradaban Islam
Pemilu dalam sejarah peradaban Islam ditemukan dari
peristiwa yang mengarah pada bentuk sebuah pemilu yang
kemudian  dijadikan  landasan  oleh  para  ulama  sekarang 
untuk  membenarkan  pemilu  yang  saat  ini  dipraktekkan. 
Misalnya Baiat
al-Nuqabâ
’ (wakil-wakil suku), yaitu ketika
kaum  Anshar  membaiat  Nabi  Saw.  di  ‘Aqabah.  Saat  itu, 
Nabi  Saw.  bersabda  bahwa  pilihlah  untukku  dari  kalian 
dua belas orang wakil yang akan menunaikan apa-apa yang
14
 Muhammad A. Al-Buraey,
Islam Landasan Alternatif Administrasi
Pembangunan
,   Terjemahan   Achmad   Nashir   Budiman,   (Jakarta:  
Rajawali Press, 1986), Cetakan Pertama, h. 157.
15
 Kasman Singodimedjo,
Masalah Kedaulatan
,, h. 54.
dibutuhkan oleh kaum mereka.
16
 Selanjutnya dalam kisah
utusan  Hawzan,  bahwa  utusan  Hawzan  datang  kepada 
Rasulullah  Saw.  dalam  keadaan  Muslim  dan  memberi 
baiat. Ia memohon kepada Nabi Saw. agar mengembalikan
harta  mereka  (yang  dirampas  karena  perang).  Nabi  pun 
minta  persetujuannya  (kaum  muslimin)  tentang  hal  itu 
dan  mereka  memberikan  isyarat  keridaan.  Akan  tetapi 
Nabi tidak cukup dengan persetujuannya saja, selanjutnya
Nabi bersabda bahwa Kami tidak mengetahui siapa yang
mengizinkan kalian tentang demikian dan siapa yang tidak
mengizinkan.  Pulanglah,  hingga  masalah  ini  diangkat 
(diadukan) kepada kami oleh wakil yang kalian tunjuk.
17
Dua  riwayat  tersebut  dijadikan  alasan  atau  dasar 
oleh para ulama sekarang terhadap persoalan pemilihan
umum,  karena  kedua  riwayat  tersebut  mempunyai 
makna  mengenai  persoalan  kedaulatan  rakyat,  yaitu 
rakyat  memberikan  pilihannya  kepada  mereka  yang 
mewakilinya.
Begitu  juga  periode  sesudah  Nabi  Saw.,  yaitu  pada 
masa
al-Khulafâ’ al-Râsyidûn
. Pemilihan
al-Khulafâ’ al-
Râsyidûn
 berbeda dengan metode pemilu yang dikenal
sekarang. Pemilihan umum yang dikenal pada masa
al-
Khulafâ’ al-Râsyidûn
 dapat ditemui janji setia (baiat) dari
masing-masing khalifah yang terpilih. Janji setia (baiat)
dilaksanakan  di  masjid  kemudian  rakyat  memberikan 
baiat kepada khalifah, sehingga di sini ada keterlibatan
dan peran rakyat dalam baiat khalifah.
Pada  saat  pemilihan  Abû  Bakr  yang  dilakukan  di 
balai pertemuan Bani Saidah oleh kelompok kecil yang
terdiri  atas  lima  orang  selain  Abû  Bakr,  yaitu  ‘Umar 
ibn  al-Khaththâb,  Abû  Ubaydah  ibn  Jara
h
,  Basyîr  ibn 
Sa’ad, Asid ibn Khudayr dan Sâlim, seorang budak Abû
Khudzayfah  yang  telah  dimerdekakan.
18
  Kelima  orang 
itu  merupakan  perwakilan  dari  kelompok  Muhajirin 
(suku    Quraisy)    dan    kelompok    Anshar    masing-
masing  dari  unsur  Khazraj  dan  Aus.  Hal  ini  berbeda 
dengan  ‘Umar  ibn  al-Khaththâb  yang  terpilih  tidak 
melalui  proses  pemilihan  sebagaimana  Khalifah  Abû 
Bakr.  Meskipun  demikian,  ‘Umar  ibn  al-Khaththâb 
menyatakan  ketika  sampai  kepadanya  berita  bahwa 
orang-orang berkata bahwa jika ‘Umar meninggal dunia
mereka  akan  memberikan  baiat  pada  si  Fulan.  Beliau 
juga  melarang  bahwa  barangsiapa  membaiat  seorang 
pemimpin tanpa proses musyawarah, baiatnya dianggap
tidak  sah,  dan  tidak  ada  baiat  terhadap  orang  yang 
mengangkat  baiat  terhadapnya  atau  keduanya  harus 
16
   Dikutip   ulang   oleh   Rapung   Samuddin,  
Fiqih   Demokrasi,  
Menguak  Kekeliruan  Pandangan  Haramnya  Umat  Terlibat  Pemilu  dan 
Politik
, (Jakarta: Gozian Press, 2013), Cetakan Pertama, h. 304-305.
17
 Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
h. 304-305.
18
  Munawir  Sjadzali, 
Islam  dan  Tata  Negara,  Ajaran,  Sejarah  dan 
Pemikiran
, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 23.
63
Sodikin:
Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam
dibunuh.
19
  Riwayat  ini  adalah  bentuk  dari  pemilihan 
umum  yang  dikenal  pada  saat  itu  melalui  mekanisme 
musyawarah dengan rakyat dan mengembalikan urusan
pemilihan pemimpin kepada rakyat (kaum muslimin).
Riwayat selanjutnya adalah perbuatan ‘Abd al-Ra
h
mân
ibn  ‘Awf  ketika  bermusyawarah  dan  meminta  pendapat 
rakyat   untuk   menetapkan   siapa   yang   laik   menjadi  
seorang  khalifah  setelah  ‘Umar  ibn  al-Khaththâb  wafat. 
Diwirayatkan  bahwa  ‘Abd  al-Ra
h
mân  ibn  ‘Awf  selama 
tiga hari bermusyawarah dan meminta pandangan rakyat
hingga mantap pilihan jatuh pada ‘Ustmân ibn ‘Affân. Saat
itu  beliau  berkata  bahwa  beliau  melihat  pilihan  manusia 
tidak  bergeser  pada  Utsmân.
20
  Riwayat  ‘Abd  al-Ra
h
mân
ibn  ‘Awf  ini  menunjukkan  peran  dan  keterlibatan  rakyat 
dalam  pemilihan  khalifah.  Begitu  juga  dalam  pemilihan 
‘Alî  ibn  Abî  Thâlib,  dipilih  melalui  pemilihan,  meskipun 
banyak yang menentangnya. Pada saat ‘Alî ibn Abî Thâlib
terpilih,  ‘Alî  ibn  Abî  Thâlib  menolak  jika  baiatnya  hanya 
sebagai  baiat  khusus  dari 
ahl  al-
h
all  wa  al-‘aqdi
.  ‘Alî  ibn 
Abî Thâlib kemudian berdiri di dalam masjid dan rakyat
berbondong-bondong memberikan baiat kepada beliau.
21
Bentuk demikian merupakan bentuk pemilu karena ada-
nya  keterlibatan  dan  peran  rakyat  dalam  menyukseskan 
baiat seorang pemimpin (khalifah).
Dengan  demikian,  pemilu  dalam  Islam  dapat  di-
gambarkan yaitu: (1) Kandungan proses pemilu berupa
keharusan  tegaknya  baiat  atas  pilihan  dan  rida  rakyat, 
merupakan perkara yang tercakup dalam syariat. Baiat
dalam  Islam  tidak  terjadi  melainkan  atas  asas  pilihan, 
maka  baiat  yang  terjadi  pada  seluruh 
al-Khulafâ’  al- 
Râsyidûn
, yang tegaknya berdasarkan rida dan pilihan.
(2)  Menyerahkan  urusan  baiat  dan  ketaatan  kepada 
rakyat  merupakan  perkara  yang  diakui  oleh  syariat. 
Wajib bagi seluruh rakyat memberi baiat kepada imam
(kepala negara) mereka. Karena baiat kemudian terikat
oleh hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban.
22
Terdapat  perbedaan  antara  pemilu  yang  terjadi  di 
Indonesia saat ini dengan apa yang terjadi dalam Islam
sebagaimana  diriwayatkan  di  atas.  Perbedaan  tersebut 
adalah:   (1)Menyerahkan   urusan   pemilihan   kepala  
negara   kepada   seluruh   rakyat,   serta   membatasinya  
pada  orang  yang  mereka  (rakyat)  kehendaki.  Hal  ini 
tentunya  tidak  terdapat  dalam  Islam.  Dalam  sejarah 
Islam,  pemilihan  khalifah  yang  dilakukan  oleh 
ahl  al-
19
 Hadis riwayat al-Bukhârî,
Sha
h
î
h
 al-Bukhârî, Bâb Rajm al-
H
ublâ
fî al-Zinâ Idzâ Ahshanat
, No. 6830, sebagaimana dikutip oleh Rapung
Samuddin,
Fiqih Demokrasi, Menguak Kekeliruan Panangan Haramnya
Umat Terlibat Pemilu dan Politik
, (Jakarta: Gozian Press, 2013), h. 306.
20
 Hadis riwayat al-Bukhârî,
Sha
h
î
h
 al-Bukhârî,
, No. 6781.
21
  Abû  Ja’far  al-Thabarî, 
Târîkh  al-Thabarî, 
(Beirut:  Dâr  al-Fikr, 
1997), h. 75.
22
 Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
 h. 308 – 309.
h
all  wa  al-‘aqdi
,  kemudian  diikuti  oleh  baiat  seluruh 
rakyat,  sebagaimana  terjadi  pada  masa  Abû  Bakr  atau 
keterlibatan   manusia   dalam   baiat   khalifah   secara  
langsung tanpa ada pilihan dan pembatasan bagi mereka
sebagaimana terjadi pada baiat ‘Alî ibn Abî Thâlib. (2)
Pemberian  kepada  setiap  orang  satu  hak  suara  yang 
sifatnya terbatas, sebab dari perhitungan suara tersebut
keluar siapa yang akan menjadi pemimpin berdasarkan
suara mayoritas. Metode ini juga tidak terdapat dalam
sejarah  Islam.  Baiat  yang  sifatnya  umum  terselenggara 
berdasarkan rida manusia dan kesediaan mereka mem-
berikan  baiatnya.  Adapun  baiat  yang  sifatnya  khusus 
dari
ahl  al-
h
all  wa  al-‘aqdi
  terselenggara  setelah  me-
lalui   proses   musyawarah   dan   pertimbangan   tanpa  
mem 
perhatikan  perhitungan  suara  seperti  pemilu  hari 
ini.  Kendati  para  fukaha  menyatakan  bahwa  yang  di-
kedepankan  adalah  pendapat  mayoritas  dan  bukan 
selainnya,  namun  hal  ini  pun  terbatas  pada  pendapat 
dan  pandangan 
ahl  al-
h
all  wa  al-‘aqdi
  dan  bukan 
pandangan  umum  sebagaimana  terjadi  hari  ini.  (3) 
Adanya  calon-calon  lain  yang  ikut  bertarung  untuk 
mendapatkan  pilihan  dan  baiat  dari  rakyat.  Padahal 
persoalan  menyerahkan  baiat  kepada  rakyat  dalam 
sejarah  Islam  bukan  untuk  tujuan  membedakan  dan 
memilih calon-calon yang bertarung, akan tetapi untuk
memberi  baiat  kepada  khalifah  yang  dipilih  oleh 
ahl
al-
h
all  wa  al-‘aqdi
  atau  ikut  serta  (bersama 
ahl  al-
h
all
wa al-‘aqdi
) dalam memberikan baiat kepada seseorang
tertentu.
23
Perbedaan Sikap Ulama
Sikap  para  ulama  terhadap  pemilu  terbagi  menjadi 
dua   kelompok   dengan   pandangan   yang   berbeda.  
Kelompok pertama, yaitu yang mengharamkan pemilu
sebagai  
mana   dipraktekkan   sekarang   ini.   Menurut  
kelompok  ini,  pemilu  sekarang  sudah  tidak  sesuai 
dengan   syariah.   Karena   pemilu   hukumnya   tidak  
boleh   atau   haram,   maka   tidak   boleh   menempuh  
atau  mempraktekkan  metode  pemilu  dalam  bentuk 
seperti   yang   dipraktekkan   hari   ini
24
.   Pendapat   ini  
dikemukakan  oleh  Mu
h
ammad  ‘Abd  Allâh  al-Imâm, 
Ma
h
mûd  Syâkir, 
H
âfizh  Anwâr,  al-Amîn  al-
H
ajj  dan 
Mu
h
ammad   ibn   Sa’ad   al-Ghâmidî.   Ada   beberapa  
alasan bagi
kelompok ini untuk mengharamkan pemilu
sebagaimana   dipraktekkan   sekarang   ini   (khususnya  
di  Indonesia),  seperti:  (1)  Pemilu  yang  dipraktekkan 
sekarang  ini  tidak 
dikenal  dalam  Islam  karena  tidak 
ada  dalil-dalilnya.  (2)  Pemilu 
yang  diselenggarakan 
menimbulkan kerusakan, tidak ada ketakwaan terhadap
23
 Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
 h. 309 – 310.
24
 Rapung Samuddin,
Fiqih Demokrasi,
 h. 311.
64
Ahkam:
Vol. XV, No. 1, Januari 2015
Allah Swt.,
penggunaan dana yang besar (pemborosan),
sikap  fanatik  terhadap  kelompoknya  sendiri, 
jual  beli 
suara  dan  mengelabui  pemilih  sehingga  pelaksanaan 
pemilu  banyak 
menimbulkan  kemudaratan  daripada 
manfaat.  (3)  Sistem  pemilu  legislatif  dengan  suara 
mayoritas  tidak  dikenal  dalam  Islam  karena  dalam 
Islam  yang  menjadi 
ukuran  adalah  sebuah  kebenaran 
yang  wajib  diterima.  (4)  Tidak  dipenuhi 
syarat-syarat
orang untuk dipilih menjadi pemimpin karena sekarang
ini
semua  orang  mempunyai  hak  yang  sama  untuk 
dipilih. (5) Persamaan
hak untuk memilih (persamaan
mutlak  tanpa  ada  perbedaan  keahlian  masing-
masing)
sehingga   tidak   sesuai   dengan   firman   Allah   dalam  
Q.s.
al-Zumar  [39]:  9  yang  artinya  “Adakah  sama 
orang-orang
yang   mengetahui   dengan   orang-orang  
yang  tidak  mengetahui  ?  Sesungguhnya  orang 
yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (6) Aturan
demokrasi yang
diambil dari Barat sehingga merupakan
aturan jahiliyah. (7) Dalam kenyataannya,
tujuan dari
pelaksanaan  pemilu  menghasilkan  jabatan  yang  tidak 
mencapai  kebaikan 
dan  maslahat  bagi  masyarakat.  (8) 
Tidak adanya perbaikan yang signifikan
bagi kehidupan
umat manusia.
Kelompok    kedua    berpandangan    menghalalkan   
pemilu  sebagaimana 
dipraktekkan  sekarang  ini  karena 
masih  tetap  dalam  koridor  syariah.  Kelompok 
ini
berpendapat bahwa pemilu sebagaimana dipraktekkan
sekarang ini hukumnya halal, selama
metode pemilihan
sesuai dengan syariah. Pendapat ini dikemukakan oleh
mayoritas
ulama   kontemporer,   seperti   Mu
h
ammad
Rasyîd   Ridhâ,   Abû   al-A’lâ   al-Mawdûdî,   Yûsuf   al-
Qaradhawî  dan  ‘Abd  al-Qâdir  Awdah.  Ada  beberapa 
alasan  atau  dalil  yang  membolehkan  pemilu  seperti 
sekarang ini, yaitu: (1) Inti sebenarnya dari baiat adalah
pemberitahuan  dari  rakyat  yang  memberikan  baiat 
akan  persetujuan  dan  rida  terhadap  seseorang  yang 
akan  dibaiat,  dan  hal  ini  terwujud  dalam  pemilu  hari 
ini
25
.  (2)  Kenyataan  dalam  sejarah  Islam  dan  riwayat 
Islam menunjukkan adanya sebuah proses pemilu. (3)
Syariat  Islam  datang  membawa  pengakuan  bagi  peran 
dan  rida  rakyat  dalam  baiat  serta  tidak  menetapkan 
batasan  metode  yang  dengannya  diketahui  keridaan 
itu.  Pemilu  termasuk  salah  satu  metode  aktual  yang 
digunakan    untuk    mengetahui    keridaan    rakyat.   
Disamping  itu,  tidak  ada  dalil  yang  menunjukkan 
pelarangan dan tidak pula yang membatasi metodenya
dengan  sarana-sarana  tertentu.
26
  (4)  Umatlah  yang 
25
 ‘Abd al-
H
âmid al-Anshârî,
al-‘Âlam al-Islâmî bayna al-Syûrâ wa
al-Dimuqrathiyah
, (Cairo, Dâr al-Fikr al-Islam, 1922 H), Cetakan ke-
1, h. 30 dan 324.
26
   Mu
h
ammad   A
h
mad   Mufti,  
Mafâhîm   Siyâsah   Syar’iyyah
,
(Amman:  Dâr  al-Basyîr,  1418  H),  h.  50,  lihat  pula  Munîr  al-Bayâtî, 
merupakan   pemilik   hak   dalam   pemilihan   seorang  
hakim  atau  kepala  negara.  Jika  demikian,  maka  bagi 
mereka  hak  terlibat  secara  langsung  dalam  pemilihan 
atau  melalui  wakil-wakilnya  dari  kalangan 
ahl  al-
h
all
wa al-‘aqd
.
27
 (5) Metode pengangkatan seorang khalifah
atau kepala negara termasuk dalam kategori ijtihadiyah.
Tidak ada dalil khusus yang membatasinya dengan satu
metode tertentu, sebab ia berbeda menurut perbeda
an
tempat  dan  zaman.  Dibolehkan  menempuh  metode 
apa  saja  dalam  pemilihan  pemimpin  selama  tidak 
ber
tentangan  dengan  nas-nas  syarak.
28
  (6)  Pemilihan 
umum  merupakan  metode  aktual  yang  dengannya 
dapat  diketahui  pandangan  rakyat  secara  adil  dan 
obyektif. Mereka yang berbeda dengan metode ini tentu
tidak  memiliki  dalil  yang  sahih.  Ketika  mereka  ingin 
mengetahui tentang
ahl al-
h
all wa al-‘aqd
 serta metode
dan  batasan  yang  digunakan  untuk  zaman  sekarang, 
adakah cara selain metode pemilu? Bagaimana mereka
menjamin   perpindahan   kekuasaan   serta   mencegah  
aturan-aturan  politik  dari  kezaliman  tanpa  melalui 
proses pemilu.
29
 (7) Allah Swt. memuji kaum mukmin
yang telah menyeru kepada yang makruf dan mencegah
kemunkaran  sebagaimana  dalam  Q.s.  Âli  ‘Imrân  [3]: 
110  yang  artinya:  “Kamu  adalah  umat  terbaik  yang 
dilahirkan  untuk  manusia,  menyuruh  kepada  yang 
makruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman
kepada  Allah”,  dan  Q.s.  Âli  ‘Imrân  [3]:  104  yang 
artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat  yang  menyeru  pada  kebajikan,  menyuruh  pada 
yang  makruf  dan  mencegah  yang  munkar.  (8)  Tidak 
mungkin  seluruh  umat  menegakkan  kewajiban  dan 
tidak  pula  selain  kewajiban 
kifâ’î
.  Hendaknya  bagi 
mereka  mengambil  asas  perwakilan,  yaitu  manusia 
menyerahkan kewajiban tersebut kepada wakil mereka.
Masalah ini yang terjadi dan diwujudkan dalam pemilu
yang  dipraktekkan  saat  ini  untuk  memilih  perwakilan 
rakyat  kepada  orang-orang  yang  akan  menegakkan 
kewajiban
kifâyah
 tersebut.
30
Fatwa MUI tentang Haramnya Golput
Majelis   Ulama   Indonesia   (MUI)   mengeluarkan  
fatwa  haram  untuk  golput  atau  tidak  menggunakan 
hak pilih pada saat pemilu. Fatwa tersebut dikeluarkan
pada  tanggal  25  Januari  2009,  ketika  Majelis  Ulama 
al-Nizhâm al-Siyâsî al-Islâmî
, h. 178 dan 325.
27
 Munîr al-Bayâtî,
al-Nizhâm al-Siyâsî al-Islâmî
, h. 322 dan 325.
28
   Shalâ
h
   al-Dîn   Dabbûs,  
Al-Khalîfah   Tawliyatuh   wa   ‘Azluh
,
(Iskandariyah: Muassasah al-Tsaqâfiyyah al-Jâmi’iyyah, t.t.), h. 243-244.
29
  Dâwud  al-Baz, 
Al-Syûrâ  wa  al-Dimuqrathiyyah  al-Niyâbiyyah
,
(Iskandariyah: Dâr al-Fikr al-Jâmi’î, 2004) h. 153 dan 326-327.
30
 ‘Abd al-Karîm Zaydan,
Makalah al-Dimuqratiyah wa Musyârakah
al-Muslim   fî   al-Intikhâbât,   Majallah   al-Majma’   al-Fiqh   al-Islâmî
,
Râbithah al-‘Âlam al-Islâmî, Edisi X, 1426 H, h. 58-59 dan 327.
65
Sodikin:
Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam
Indonesia melakukan sidang Ijtima ke-III yang digelar
di  Padang  Panjang,  Sumatera  Barat.  Berdasarkan  hasil 
sidang yang dihadiri sekitar 750 orang ulama tersebut,
disepakati  lima  point  penting,  yaitu:  (1)  Pemilihan 
umum  dalam  pandangan  Islam  adalah  upaya  untuk 
memilih  pemimpin  atau  wakil  yang  memenuhi  syarat 
ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan
aspirasi  umat  dan  kepentingan  bangsa.  (2)  Memilih 
pemimpin  dalam  Islam  adalah  kewajiban  untuk  me-
negakkan
imâmah
   dan  
imârah
   dalam   kehidupan  
bersama.  (3) 
Imâmah
  dan 
imârah
  dalam  Islam  meng-
hajatkan  syarat  sesuai  dengan  ketentuan  agama  agar 
terwujudnya   kemaslahatan   dalam   masyarakat.   (4)  
Memilih   pemimpin   yang   beriman   dan   bertakwa,  
jujur  (
siddîq
),  terpercaya  (
amânah
),  aktif  dan  aspiratif 
(
tablîgh
),   mempunyai   kemampuan   (
fathânah
)   dan  
mem 
per 
juangkan  kepentingan  umat  Islam  hukumnya 
adalah
wajib
.  (5)  Memilih  pemimpin  yang  tidak  me-
menuhi  syarat-syarat  sebagaimana  disebutkan  dalam 
butir  1  (satu)  atau  tidak  memilih  sama  sekali  padahal 
ada  calon  yang  memenuhi  syarat  hukumnya  adalah 
haram.
Fatwa tersebut kemudian diikuti dua rekomendasi,
yaitu:   (1)   Umat   Islam   dianjurkan   untuk   memilih  
pemimpin   dan   wakil-wakilnya   untuk   mengemban  
tugas
amar  ma’rûf  nahy  munkar
.  (2)  Pemerintah  dan 
penyelenggara  pemilu  perlu  meningkatkan  sosialisasi 
penyelenggaraan  pemilu  agar  partisipasi  masyarakat 
dapat meningkat sehingga hak masyarakat terpenuhi.
Setelah   keluarnya   fatwa   MUI   tersebut,   banyak  
tanggapan
pro
  dan 
kontra
  dari  pelbagai  kalangan.  Ada 
yang sependapat dengan fatwa MUI itu dengan alasan
agar  ada  wakil  dari  umat  Islam  yang  duduk  di  DPR. 
Selain itu, ada pula pendapat yang tidak setuju dengan
fatwa  MUI  tersebut  karena  golput  berkaitan  dengan 
hak  memilih,  bukan  wajib  memilih.  Disamping  itu, 
dengan keluarnya fatwa tersebut ada yang berpendapat
bahwa MUI membenarkan praktek pemilu sekarang ini
yang  menimbulkan  banyak  kemudaratan.  Mekanisme 
pemilihan  pemimpin  sudah  menyimpang  dari  nilai-
nilai syariah, bahkan dengan fatwa tersebut MUI telah
melanggengkan bobroknya sistem politik di Indonesia.
Fatwa  tersebut  sebenarnya  sebagai  salah  satu  upaya 
dari  MUI  agar  umat  Islam  memilih  pemimpin  yang 
memenuhi kriteria
syar’i
, meskipun pelaksanaan pemilu
itu  sendiri  sudah  sangat  liberal  dan  menyimpang  dari 
ajaran hukum Islam. Oleh karena itu, maka wajar jika
banyak kalangan yang tidak mendukung adanya fatwa
dari MUI tersebut.
Hal   ini,   meskipun   mekanisme   dan   sistem   pe-
laksanaan  pemilu  yang  belum  sesuai  dengan  syariah, 
tetapi  setidaknya  MUI  telah  memberikan  peringatan 
kepada  umat  tentang  pentingnya  pemilihan  umum 
untuk  memilih  perwakilan  umat  atau  penguasa  yang 
amanah   sesuai   dengan   tuntutan   Rasulullah   Saw.  
Pemilihan umum di Indonesia yang merupakan praktek
ketatanegaraan   yang   harus   diselenggarakan   untuk  
memilih   pemimpin   maupun   perwakilan   rakyat   di  
lembaga perwakilan telah menimbulkan permasalahan.
Dengan   demikian,   MUI   memberikan   jalan   keluar  
(meskipun  banyak  juga  yang  tidak  sependapat)  agar 
umat  Islam  tidak  terjebak  dalam  permainan  politik 
yang dilakukan oleh kaum kafir yang tidak suka dengan
Islam yang kemudian merugikan umat Islam.
Apabila mencermati pendapat di atas dengan mem-
perhatikan  pelaksanaan  pemilu  yang  diselenggarakan 
di Indonesia, tentu dapat dilihat bahwa memilih wakil
rakyat untuk melakukan tugas sesuai syariah dan dalam
praktek  ketatanegaraan  berfungsi  untuk  melakukan 
check   and   balance
   atau  
mu
h
âsabah   li   al-
h
ukkâm
(mengoreksi  penguasa),  tentu  saja  hukumnya  boleh. 
Hal  ini  karena  pemilih  memilih  atau  memberikan 
wakâlah
  kepada  wakilnya  untuk  melakukan  tugasnya 
diperbolehkan,   mungkin   juga   hukumnya   menjadi  
wajib. Begitu juga wakil rakyat yang dipilih dengan tugas
membuat  undang-undang  dengan  mekanisme  yang 
dibenarkan  dalam  syariah,  sehingga  undang-undang 
yang  lahir  dari  parlemen  merupakan  undang-undang 
yang  dibenarkan  oleh  Islam.  Mekanisme  pembuatan 
undang-undang tidak didasarkan pada suara mayoritas,
tetapi didasarkan pada pertimbangan dalil atau karena
perintah  wahyu.  Berarti  di  sini  suara  rakyat  bukanlah 
suara  Tuhan,  tetapi  suara  Tuhan-lah  yang  mengatur 
kehidupan umat manusia (rakyat). 
Dalam  hal  mencermati  rancangan  undang-undang 
pemilihan  kepala  daerah  yang  baru  saja  disahkan  oleh 
DPR,  dengan  opsi  pemilihan  kepada  daerah  melalui 
DPRD, sebenarnya sebagai upaya mengembalikan kembali
proses  demokrasi  yang  tidak  individualistis.  Pemilihan 
kepala daerah melalui DPRD setidaknya sudah mendekati
kepada syariah, karena tidak mengorbankan rakyat banyak
dengan  segala  kemudaratan  yang  dapat  ditekan  sekecil 
mungkin.  Adapun  rakyat  yang  mempunyai  kedaulatan 
dapat  mewakilkan  kepada  wakil-wakilnya  yang  ada  di 
DPRD  untuk  mewakili  dalam  memilih  kepada  daerah. 
Hal  ini  juga  dapat  dikatakan  demokratis  menurut  Islam 
dan tidak harus melalui rakyat secara langsung.
Penutup
Pemilu yang dipraktekkan di Indonesia, khususnya,
dan  di  belahan  dunia,  pada  umumnya,  merupakan 
praktek   ketatanegaraan   yang   harus   dilaksanakan,  
66
Ahkam:
Vol. XV, No. 1, Januari 2015
yang  selain  sebagai  implementasi  kedaulatan  rakyat 
juga  berfungsi  untuk  memilih  wakil-wakil  rakyat  dan 
memilih   pemimpinnya.   Akan   tetapi   apabila   dikaji  
secara  mendalam,  praktek  pemilu  menurut  hukum 
Islam  sebenarnya  sudah  menyimpang  dari  ketentuan 
syariah,  meskipun  MUI  telah  mengeluarkan  fatwa 
wajib hukumnya untuk memilih dan haram hukumnya
apabila tidak memilih (golput).
Dalam   pandangan   Islam,   pemilu   adalah   salah  
satu  cara,  bukan  satu-satunya  cara  (
uslûb
)  yang  biasa 
digunakan untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin.
Hal ini, meskipun hukum asal pemilu itu sebagai
uslûb
adalah  mubah  (boleh),  tetapi  perlu  diketahui  bahwa 
pelaksanaan  pemilu  harus  sesuai  dengan  ketentuan 
syariah.  Dalam  pemilu  legislatif, 
uslûb
  itu  digunakan 
untuk  memilih  wakil  rakyat  dengan  tugas  membuat 
undang-undang  dan  harus  sesuai  dengan  ketentuan 
syariah,   tidak   berdasarkan   suara   mayoritas   serta  
melakukan
checks  and  balancies
  terhadap  kekuasaan 
lainnya.  Begitu  juga  dalam  pemilihan  kepala  negara 
dan kepala daerah,
uslûb
 ini digunakan untuk memilih
orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin.
Dengan demikian, pemilihan umum dalam pandangan
Islam  dapat  dipergunakan  sebagai  salah  satu  cara  dalam 
kehidupan kenegaraan, apabila negara yang bersangkutan
telah memilih jalan demokrasi sebagai satu-satunya dalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Akan
tetapi,  demokrasi  yang  dimaksudkan  adalah  demokrasi 
yang sesuai dengan ketentuan syariah. []
Pustaka Acuan
A. Hassan,
Al Furqon
 (
Tafsir Al Qur’an
), Jakarta: Tinta
Mas, 1962.
Al-Buraey,  Muhammad  A., 
Islam  Landasan  Alternatif 
Administrasi   Pembangunan
,  Terjemahan  Achmad 
Nashir  Budiman,  Jakarta:  Rajawali  Press,  1986, 
Cetakan Pertama.
Anshârî,  al-,  ‘Abd  al-
H
âmid,
al-‘Âlam  al-Islâmî  bayna 
al-Syûrâ wa al-Dimuqrathiyah
, Cairo, Dâr al-Fikr al-
Islam, 1922 H, Cetakan ke-1.
Asad,   Muhammad,   “Pemerintahan   Islam   dan   Asas-
Asasnya”,   dalam   Salim   Azzam   (Editor),  
Beberapa
Pandangan  Tentang  Pemerintahan  Islam
,  terjemahan 
Malikul Awwal dan Abu Jalil, Bandung: Mizan, 1983,
Cetakan pertama.
Asshiddiqie,  Jimly,  “Bung  Hatta:  Bapak  Kedaulatan 
Rakyat”,   dalam  
Bung   Hatta   Bapak   Kedaulatan  
Rakyat
,  Editor:  Sri  Edi  Swasono,  Jakarta:  Yayasan 
Bung Hatta, 2002.
Asshiddiqie,   Jimly,  
Islam   dan   Kedaulatan   Rakyat
,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995, Cet. Pertama.
Azzam, Salim,
Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan
Islam
, Bandung: Mizan, 1983.
Bayâtî, al-, Munîr,
al-Nizhâm al-Siyâsî al-Islâmî
.
Baz,  al-,  Dâwud, 
Al-Syûrâ  wa  al-Dimuqrathiyyah  al-
Niyâbiyyah
,   Iskandariyah:   Dâr   al-Fikr   al-Jâmi’î,  
2004.
Dabbûs,  Shalâ
h
  al-Dîn, 
Al-Khalîfah  Tawliyatuh  wa 
‘Azluh
,  Iskandariyah:  Muassasah  al-Tsaqâfiyyah  al-
Jâmi’iyyah, t.t.
Departemen  Pendidikan  dan  Kebudayaan  Republik 
Indonesia,
Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia
,  Jakarta: 
Balai Pustaka, 1991.
Hatta,  Mohammad, 
Demokrasi  Kita
,  Jakarta:Ghalia 
Indonesia, 1977.
Kementerian  Urusan  Agama  Islam,  Wakaf,  Da’wah 
dan   Irsyad   Kerajaan   Saudi   Arabia,  
Al   Qur’an  
dan    Terjemahannya
,    Medina    Al-Munawwarah:   
Percetakan Raja Fahd, 1418.
Mas’udi,  Masdar  Farid, 
Syarah  Konstitusi  UUD  1945 
dalam Perspektif Islam
, Jakarta: Alvabet, 2010.
Mufti,     Mu
h
ammad     A
h
mad,
Mafâhîm     Siyâsah    
Syar’iyyah
, Amman: Dâr al-Basyîr, 1418 H.
Samuddin,    Rapung,   
Fiqih    Demokrasi,    Menguak   
Kekeliruan   Pandangan   Haramnya   Umat   Terlibat  
Pemilu dan Politik
, Jakarta: Gozian Press, 2013.
Singodimedjo,  Kasman, 
Masalah  Kedaulatan
,  Jakarta: 
Bulan Bintang, 1978.
Sjadzali,  Munawir, 
Islam  dan  Tata  Negara,  Ajaran, 
Sejarah dan Pemikiran
, Jakarta: UI Press, 1993.
Thabarî, al-, Abû Ja’far,
Târîkh al-Thabarî,
Beirut: Dâr
al-Fikr, 1997.
Zaydan,  ‘Abd  al-Karîm, 
Makalah  al-Dimuqratiyah  wa 
Musyârakah  al-Muslim  fî  al-Intikhâbât,  Majallah 
al-Majma’  al-Fiqh  al-Islâmî
,  Râbithah  al-‘Âlam  al-
Islâmî, Edisi X, 1426 H.
Bulan Bintang, 1978.
Sjadzali,  Munawir, 
Islam  dan  Tata  Negara,  Ajaran, 
Sejarah dan Pemikiran
, Jakarta: UI Press, 1993.
Thabarî, al-, Abû Ja’far,
Târîkh al-Thabarî,
Beirut: Dâr
al-Fikr, 1997.
Zaydan,  ‘Abd  al-Karîm, 
Makalah  al-Dimuqratiyah  wa 
Musyârakah  al-Muslim  fî  al-Intikhâbât,  Majallah 
al-Majma’  al-Fiqh  al-Islâmî
,  Râbithah  al-‘Âlam  al-
Islâmî, Edisi X, 1426 H.

Subscribe to receive free email updates: