Khutbah Jumat Uswatun Hasanah, Persuasif, dan Penuh hikmah

Seminggu sekali, seorang Muslim laki-laki diwajibkan untuk melaksanakan shalat Jum'at sebanyak dua rakaat. Dalam rangkaiannya, shalat tersebut didahului oleh khutbah yang terdiri dari dua sesi. Sehingga jika ditotal akan menjadi empat, sama seperti jumlah rakaat shalat Zuhur. Makanya berbicara pada saat khutbah berlangsung adalah dilarang dan bisa membatalkan pahala shalat Jum'at.

Kita setiap seminggu sekali mendengarkan khutbah Jumat. Sudah sejak lama, sejak kita masih anak-anak dulu. Dari sekian banyak khutbah yang kita dengar, seberapa banyak yang isinya itu terasa sejuk, damai, dan menggerakkan. Atau justru yang terbanyak adalah berupa teror, ancaman, siksa, atau hukuman; sehingga seolah-olah Tuhan itu sosok monster yang menakutkan. Atau malah isinya berupa propaganda, provokasi, hasutan sehingga menggerakkan umat untuk berbuat keburukan.

Apakah kita keluar dari masjid sepulang shalat Jum'at dalam keadaan damai, iman yang semakin mantap, dan punya semangat baru untuk berbuat kebajikan. Atau justru sebaliknya, kita mengomel, menggerutu, bahkan marah karena bukan saja isi khutbah yang terasa kering dan membosankan, juga isi khutbah yang membuat kita semakin takut dan ngeri.

Sekarang ini banyak kita jumpai khutbah-khutbah panjang yang tidak menyentuh kenyataan hidup, terlalu normatif, dan tidak diterjemahkan ke dalam aktualitas. Khutbah yang hanya diterjemahkan secara naif dan dengan sudut pandang kacamata kuda. Firman Tuhan atau sabda nabi diperlakukan seperti benda mati yang pucat pasi. Bak musim yang tak kunjung berganti. Para khatib gagal menemukan kehidupan dalam Al Qur'an dan tak berhasil menemukan Al Qur'an dalam kehidupan.

Melihat kenyataan seperti itu, kita tak pernah cukup serius untuk menggugatnya. Kita cenderung diam dan bersikap masa bodoh. Entah karena kita tak memiliki cukup keberanian atau tak punya kuasa untuk memprotesnya; atau kita sudah memiliki dugaan bahwa jika digugat mereka tidak akan terima dan akan menimbulkan banyak masalah.

Tak jarang kita menemukan kesan dari khatib bahwa Allah itu tampak mengerikan, tukang  mengancam, suka membenci, formal-birokratis, horor bagai drakula. Tuhan seolah-olah senantiasa memelotokan matanya dengan garang, sehingga tiada peluang bagi manusia untuk menjalin hubungan cinta-kasih denganNya, hubungan "dari hati ke hati", hubungan dalam kewajaran dan kedewasaan.

Kata-kata dari sang khatib tidak mengandung tanggung jawab ilmu, tanggung jawab moral sosial, maupun tanggung jawab kebudayaan batin masyarakat. Mereka tak memiliki pengetahuan yang cukup tentang manusia, kehidupan, dan juga sistem-sistem hubungan persoalan sejarah manusia. Apa yang mereka sampaikan hanyalah slogan-slogan mati. Mereka tidak menyebut ayat-ayat Allah sebagai rahmat dan hidayah, tetapi sebagai membawa resah dan gelisah.
https://aang-zaenal-alfian.blogspot.com/2019/03/khutbah-jumat-uswatun-hasanah.html

Dakwah Mauidhah Kurang Hasanah

Banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik di pengajian akbar, khutbah Jum'at, maupun ceramah di radio dan televisi yang berupa seruan, ajakan, himbauan (mauidhah) yang tidak disampaikan secara baik, tepat, dan kontekstual (hasanah). Melakukan mauidhah tidaklah sulit, tapi bagaimana agar hasanah tidaklah gampang.

Dalam ilmu komunikasi, dakwah mauidhatul hasanah bisa sepadankan dengan komunikasi persuasif, yaitu komunikasi yang dilakukan dengan pendekatan bujukan tanpa ancaman atau kekerasan. Komunikasi persuasif adalah bagaimana mengajak seseorang agar melakukan sesuatu yang kita inginkan dengan menyentuh hatinya, menggembirakan perasaannya, mencerahkan pikirannya, serta membangkitkan gerak-langkahnya. Komunikasi persuasif juga memperhatikan latar belakang pekerjaan, pendidikan, budaya, serta lingkungan dari obyek dakwah. Komunikasi yang mencoba memahami kondisi sosial-ekonomi, sistem dan tata nilai, dan kondisi riil masyarakat.

Hal tersebut dilakukan agar orang mau mendekat, mau bergerak dengan penuh kesadaran, sukarela dan tanpa paksaan. Orang mau melakukan sesuatu atas dasar keyakinan yang kuat, penuh rasa tanggung jawab, dan merupakan suatu panggilan hidup. Berbeda dengan komunikasi dengan pendekatan ancaman atau kekerasan, yang akan membuat orang malah menjauh, dan sekalipun mereka mau melakukan sesuatu, hal itu karena mereka merasa takut dan terpaksa.

Secara umum, dakwah diselenggarakan untuk memproses suatu perubahan. Perubahan dari kondisi yang kurang baik menjadi baik, dari keadaan yang tidak benar menjadi benar, dari kegelapan menuju terang-benderang. Tapi sangat disayangkan, karena selama ini kita tak pernah meneliti atau mengukur efek atau dampak dari dakwah yang begitu gencar kita lakukan. Pengajian akbar sering diadakan dan di banyak tempat, kultum, ceramah di radio atau televisi, tapi tahukah kita seberapa baik hasilnya, seberapa besar peningkatan kesalihan, perubahan sosial yang terjadi, dan seterusnya. Apakah keimanan meningkat, ketaatan kepada Allah meninggi, akhlak kian membaik, korupsi berkurang, kemunafikan menurun, penyelewengan dan kriminalitas semakin sedikit persentasenya, dan lain-lain.

Kita sering membuat tema pengajian yang abstrak dan terlalu muluk, seperti meningkatnya iman dan takwa, kebangkitan Islam, Islam dan globalisasi, Islam dan teknologi komunikasi dan informasi, dan sebagainya. Seringnya kita tiada memiliki kesanggupan untuk merealisasikan tema tersebut di dalam kehidupan nyata, mengaplikasikan teks (firman Tuhan dan hadits nabi) ke dalam konteks, serta mengantisipasi tema-tema besar tersebut dalam perjalanannya.

Pada akhirnya, tema-tema muluk tersebut hanya berperan sebagai aksesori atau ekspresi inferioritas umat Islam. Misalnya, jika tidak ikut berbicara tentang globalisasi atau teknologi internet, takut dianggap ketinggalan zaman. Padahal, untuk melakukan perombakan struktur kepengurusan masjid saja kita masih tertatih-tatih, terbentur oleh kultur feodalisme, egoisme kelompok, atau sikap eksklusivisme.

Kita pun harus mengakui dengan jujur bahwa budaya dakwah kita masih stagnan, jalan di tempat. Kita melakukan dakwah tanpa strategi kebudayaan, tanpa strategi sosial, dan tanpa taktik psikologis. Sebagian besar dakwah kita masih dakwah bil lisan. Itu pun masih belum enak didengar, jangankan oleh telinga masyarakat nonmuslim, oleh telinga kita sendiri saja sering tidak enak.

Ketika seorang dai menyampaikan seruan-seruan dakwah, seringkali tidak diperhitungkan determinasi psikologisnya bagi pendengar. Ia tidak menyeru, tapi menekan. Bukan mencuri hati, melainkan membuat ngeri. Dan bisa ditebak, sesuatu yang membuat ngeri justru akan membuat seseorang melarikan diri.

Sudah menjadi pengetahuan kita bersama, bahwa kebanyakan dari kita masih kurang mampu membawakan Islam secara baik, benar, dan indah. Firman Tuhan dan hadits nabi itu amat mulia dan agung, akan tetapi kita belum mampu mengantarkan keindahan itu ke dalam hati dan pikiran orang lain. Ayat-ayat suci jadi tidak menyentuh hati.

Pada umumnya kita masih "diam di dalam hati" melihat kemungkaran-kemungkaran besar (seperti korupsi, pelacuran, ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kekuasaan, dll), tapi lebih sering meributkan perkara-perkara sepele, seperti perbedaan rakaat shalat tarawih, doa qunut, adzan shalat Jum'at, dzikir jahr bada shalat, shalat pakai ushalli atau tidak, dan lain-lain.

Para dai kurang memiliki perhatian terhadap realitas kehidupan masyarakat, tidak menunjukkan komitmen sosial yang komprehensif, tidak memiliki sikap politik yang jelas, termasuk tidak memiliki wawasan sosiologis dan psikologis yang lebih luas dan mendalam.

Penutup

Kalau hanya sekedar memberikan khotbah seperti orang berpidato atau ceramah, sangat banyak orang yang bisa melakukannya. Tapi untuk menyampaikan khutbah yang persuasif, khutbah yang bilhikmah tidaklah mudah. Untuk itu, agar khutbah Jum'at memiliki efek positif, menggerakkan, dan menimbulkan perubahan di masyarakat, maka diperlukan materi dan teknik bicara yang sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan zaman.

Subscribe to receive free email updates: