Hukum Penggunaan Kata Sayyidina dalam Shalat dan Shalawat

<Hukum Penggunaan Kata Sayyidina dalam Shalat dan Shalawat> Ternyata, mengucapkan titel "sayyidina" sebelum nama Nabi Muhammad saw, bisa menjadi masalah sosial. Gara-gara "sayyidina", seseorang bisa dikucilkan dari kelompoknya, atau kelompok yang satu menyalahkan kelompok lainnya. Sedemikian gawatkah masalah sayyidina itu?

Pernah suatu saat, seusai memimpin tahlil, saya ditegur oleh seorang jamaah, "Kenapa sampeyan tadi saat mengucapkan shalawat tidak menyebut "Ya Rabbi shalli 'ala sayyida Muhammad" (يا رب صل على سيدنا محمد), kok cuma "Ya Robbi shalli 'ala Muhammad" (يا رب صل على محمد)? Apa sampeyan sudah jadi Muhammadiyah ya? Apa sampeyan sudah tidak lagi menghormati Nabi Muhammad, kok menyebut namanya njambal (tidak menambah gelar kehormatan)?

Dari pertanyaan ini, dapat diketahui sedemikian rentangnya jarak antar kelompok muslim dan ormas Islam di Indonesia ini. Hanya dari sebuah kata "sayyidina", klaim kebenaran dan penghakiman terhadap status sosial sudah dengan mudah disematkan.
http://aang-zaenal-alfian.blogspot.com/2017/03/hukum-penggunaan-kata-sayyidina-dalam.html

Akhirnya, dengan sekenanya, saya menjawab, "Kalau sampeyan tadi mengikuti keseluruhan bacaan tahlil, ada kok beberapa redaksi shalawat Nabi yang saya sisipi "sayyidina". Bahkan, kalau kita membaca syair diba' misalnya "Ya Rabbi shalli 'ala Muhammad, Ya Rabbi shalli 'alaihi wa sallim" (يا رب صل على محمد * يا رب صل عليه وسلم), dalam syair yang panjang dan berulang-ulang itu, para jamaah diba' juga tidak menambah kata "sayyidina". Sebab, kalau ditambah "sayyidina", kaidah qofiyah atau not syairnya bisa berubah dan tidak indah lagi. Lalu, apakah para jamaah diba' itu juga sampeyan klaim sebagai kelompok Muhammadiyah atau kelompok lain yang tidak membolehkan ucapan "sayyida"?

Sementara itu, dalam kesempatan yang lain, ada juga kelompok atau ormas Islam yang menyatakan bahwa mengucapkan "Sayyidina" itu tidak diperintah oleh Nabi sehingga, lagi-lagi, disebut "Bid'ah". Apa dasarnya? Mereka mengutip sebuah hadis tentang pertanyaan seorang sahabat, "Ya Rasul, bagaimana kami bersholawat kepadamu?". Nabi menjawab, "Katakan: Allohumma sholli 'ala Muhammad wa alihi" (قل اللهم صل على محمد وآله).

Lebih dari itu, kelompok yang anti "Sayyidina" ini, malah memfatwakan bahwa menambah lafal "Sayyidina" dalam tasyahhud akhir tepatnya dalam membaca shalawat di dalam shalat, adalah membatalkan shalat. Alasannya, selain redaksi tasyahhud dan shalawatnya tidak sesuai dengan hadis di atas, juga karena ada dasar hadis lain yang melarang pengucapan lafal "Sayyidina".

Benarkah ada hadis atau dalil yang melarang pengucapan lafal "Sayyidina" tersebut? Jika memang ada, apakah juga berdampak membatalkan shalat dan juga mengakibatkan shalawat tidak terima Allah? Sungguh mengerikan!!

Ternyata, hadis yang biasa dikutip dan dijadikan dasar pelarangan "sayyidina" itu dalam shalat maupun shalawat adalah hadis "Laa tusayyiduuni fis sholat" (لا تسيدوني في الصلاة). Artinya, "Jangan kalian mengucapkan sayyidina kepadaku di dalam shalat".

Bila hadis di atas dianalisis secara bahasa, dalam kajian morfologis (ilmu sharaf), kata "sayyid" berasal dari "saywidah (سيودة)", lalu huruf "wawu" pada kata itu ditukar ke huruf "ya" sehingga ada 2 huruf ya' yang berjejer (سييودة). Karena itu, lalu kedua huruf ya' itu diidghamkan (digabung). Akhirnya, menjadi kata "sayyid" (سيد). Oleh karena itu, yang benar seharusnya "laa tusawwiduuni (لا تسودوني)" bukan "tusayyiduni (لا تسيدوني)" sebab kata (سيودة) inilah yang merupakan akar kata dari "sayyid".

Intinya, redaksi hadis "La tusayyiduuni (لا تسودوني)" itu sudah tidak tepat secara morfologis. Dengan kata lain, tidak mungkin Nabi Muhammad salah memilih kata, apalagi statemen itu terkait dengan hukum yang harus dituangkan dalam redaksi kalimat yang jelas, ringkas dan tidak boleh salah.

Selain dilihat dari analisis bahasa, hadis yang secara tektual melarang mengucapkan "sayyidina" dalam shalat itu, statusnya "Hadis Mawdu' alias “Hadis Palsu" yang sanadnya tidak jelas, konteksnya tidak diketahui dan redaksi kalimat (matan)-nya juga salah. Hadis dhaif (lemah) saja tidak bisa dijadikan dasar hukum dalam fiqih, terlebih lagi yang bersifat larangan yang bisa mengakibatkan batalnya shalat, apalagi hadis mawdu' (palsu), maka jelas tidak bisa dipakai dasar hukum. Artinya, pihak-pihak atau kelompok yang anti-sayyidina dan berpijak pada hadis palsu ini, sungguh salah paham.

Mengutip pendapat Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, ada 4 alasan untuk menolak pendapat yang melarang penyebutan "sayyidina", yaitu:
  1. Tidak ada keterangan tegas dan jelas tentang pelarangan tersebut.
  2. Pihak yang berpendapat batalnya shalat akibat mengucapkan "sayyidina" adalah pihak yang tidak pernah mempunyai dasar hukum dan dalil.
  3. Ketiga imam madzhab (Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Syafi'i) sepakat tentang disyariatkannya "sayyidina".
  4. Banyak ulama salaf (spt. al-Bakr bin Muhammad Syatha pengarang kitab I'anah, Imam al-Ramli penulis kitab Nihayah al-Muhtaj, dll) yang mengatakan bahwa hadis di atas (tentang larangan sayyidina) adalah hadis yang batal atau ditolak secara hukum.
Oleh karena, tidak masalah kita mengucapkan "Sayyidina Muhammad" baik di dalam maupun di luar shalat. Sama sekali tidak membatalkan shalat dan shalawat, juga tidak ada larangan tentang hal itu. Malahan, pengucapan "sayyidina" merupakan bagian dari penghormatan kita sebagai umat kepada junjungan kita, Sayyidina Muhammad saw.

Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri mengatakan, “الأولي ذكر السيادة لأن الأفضل سلوك الأدب”. Artinya, yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi saw) karena ini adalah cara lebih utama dalam beradab kepada Nabi. (Hasyiyah al-Bajuri, I/156)

Perlu ditambahkan, hadis Nabi riwayat Abu Hurairah:

أنا سيد ولد آدم يوم القيامة، وأول من ينشق عنه القبر، وأول شافع وأول مشفع.
Artinya, "Aku adalah gusti (penghulu) anak Adam pada hari kiamat, orang pertama yang bangkit dari kubur, orang pertama yang memberi syafaat dan orang pertama yang diberi hak untuk memberikan syafaat" (Shahih Muslim, 4223)
Hadis di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad sendiri menyebut pribadi beliau dengan "sayyid", apalagi kita umatnya. Jelas, kita sangat dianjurkan menyebut gelar-gelar beliau sebelum namanya, walaupun beliau saw tidak memintanya.

Anehnya lagi, hadis riwayat Abu Hurairah di atas, yang jelas-jelas kualitasnya shahih, juga masih dikritik oleh pihak yang anti-sayyidina. Menurut mereka, Nabi menyebut dirinya sebagai sayyid itu adalah di akhirat, bukan di dunia. Jadi, kita semasih di dunia, tidak boleh menyebut sayyidina kepada beliau.

Benar-benar alasan yang aneh dan menggelikan. Untuk menjawab hal ini, Sayyid Muhammad Al-Maliki menegaskan, bahwa siyadah atau sayyid itu bukan khusus bagi Nabi di hari kiamat saja. Akan tetapi, Nabi adalah sayyid sejak di dunia hingga akhirat.

Bagi saya, Nabi Muhammad saw bukan sekedar utusan Allah, pemimpin agama, atau penyebar Islam, namun lebih dari itu, beliau adalah kekasih Allah dan kekasih kita sebagai umatnya. Kecintaan kita kepada Allah dan Nabi Muhammad, harus melebihi kecintaan kita terhadap apapun di alam semesta ini. Penghormatan kita pun, termasuk dalam menyebut namanya, juga harus perfect, sempurna, dengan gelar dan sebutan terindah dan termulia.

Memang, tanpa kita menyebut "sayyidina" pun, beliau telah tetap sebagai makhluk paling mulia. Bahkan, sebanyak-banyaknya manusia tidak percaya kepada Nabi, tidak bershalawat kepadanya atau bahkan menentangnya, sedikit pun hal itu tidak mengurangi kemuliaan Nabi Muhammad saw. Sekali lagi, beliau tetap no. 1 dengan atau tanpa sayyidina.

Akan tetapi, bagi kita umatnya, jelas tidak sama antara orang yang menghormati Nabi dan orang yang kurang menghormati Nabi. Dan, penghormatan tertinggi terhadap Nabi adalah ittiba' atau mengikuti beliau, mencintai, menteladani dan menjalankan ajaran-ajaran agama yang disampaikannya melalui ayat-ayat al-Qur'an dan hadis.

So, saya hanya ingin mengatakan: orang atau kelompok yang tidak mengucapkan "sayyidina" tidak mesti dan tidak serta-merta mereka itu tidak menghormati Nabi. Sebaliknya, orang atau kelompok yang mengucapkan sayyidina dalam shalat maupun shalawat, maka ucapan itu sama sekali tidak terlarang, tidak pula membatalkan shalat maupun shalat, dan bukan bid’ah!!!.

Yang pasti, jika kelompok yang anti dan pro sayyidina masih terus-terusan bertengkar, justru itulah bukti kelakuan tidak menghormati Nabi Muhammad saw yang cinta damai dan merindukan persatuan di antara umatnya.

Semoga, dengan tulisan ini, kata "Sayyidina" tidak lagi menjadi "masalah".

Subscribe to receive free email updates: